Presenter Architects Under BIg 3 #7 Putu Wiadnyana dan Erika Dyah sebagai pemandu acara |
Begitulah Putu berkisah tentang tanah kelahirannya di hadapan sekitat 30 audiens di kebun Danes Art Veranda.
Putu mengenalkan audiens mengenai tanah kelahirannya dengan menyajikan pemutaran film dokumenter mengenai Tenganan yang dibuat oleh TVRI Nasional untuk program acara Suku-suku.
Pada bagian pertama cerita, Place and People, Putu bercerita mengenai Desa Tenganan secara umum; lokasi dan sejarah Desa Tenganan, sistem sosial dimana salah satunya warga Desa Tenganan lebih diharapkan untuk melakukan pernikahan indogami, ritual dan upacara khas Desa Tenganan seperti Maling-malingan dan Perang Pandan yang tersohor dan juga menceritakan bagaimana pariwisata berdampak pada Desa Tenganan.
Cerita tentang kain Geringsing yang cantik menandai dimulainya bagian kedua, Art and Architecture. Dikisahkan Putu, kain Geringsing Tenganan merupakan kain dobel ikat dimana sistem pembuatannya hanya ada dua di dunia, yaitu di Desa Tenganan dan di India. Motifnya yang unik merupakan representasi dari alam semesta. Putu juga menunjukkan beberapa slide gambar alat musik khas Tenganan, Selonding dimana tidak semua orang diperbolehkan untuk memainkannya. Diperlukan proses bagi orang yang ingin memainkannya.
Di bagian Architecture, Putu menerangkan bahwa Desa Tenganan memiliki pola linear dari utara ke selatan. Penataannya bertumpu pada konsep mandala -Dandaka Mandala, konsep kosmologi alam semesta. Sebagai pemuja Dewa indra (Dewa Perang), Desa Tenganan ditata seolah-olah seperti benteng (barak tentara). Masyarakat Desa Tenganan diumpamakan seperti tentara bagi Dewa Indra. Perlu diketahui, benteng yang dimaksud disini bukanlah berwujud fisik seperti tembok, melainkan berupa kondisi alam, yaitu bukit dan aliran sungai.
Menuju lingkup yang lebih kecil, alumnus Universitas Gajah Mada angkatan 2001 ini menjelaskan mengenai pola rumah di Tenganan yang letaknya berhadapan, sehingga membentuk sebuah ruang kosong di tengah, berupa ruang publik dan sakral. Hal ini mempermudah infrastruktur desa. Karena pada sistem drainasenya, semua air kotor dialirkan ke arah belakang, sehingga, ruang publik/sakral sesuai dengan konsepnya yaitu ruang bersih dan sakral. Rumah-rumah di Tenganan yang berbentuk seragam, dari utara ke selatan, membentuk sifat masyarakat yang lebih mementingkan kebersamaan daripada perorangan (individual).
Audiens Architects Under Big 3 #7 Putu Wiadnyana |
Tenganan Microhydro Power Plant merupakan proyek pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam melalui sumber energi terbaru. Dalam proyek yang didanai oleh UNDP, Putu terlibat dalam desain proses dan konstruksi penyusunan rumah pembangkit listrik dan fasilitas produksi beras. Selain itu, Putu terlibat dalam pengelolaan operasi produksi melalui kerjasama bisnis berbasis masyarakat sebagai manajer lapangan. Proyek ini menghasilkan "Green Rice", beras yang dihasilkan dari pemanfaatan energi baru dengan biaya produksi tidak mahal.
Proyek selanjutnya adalah Tenganan Water Supply Project. Tujuan proyek adalah perbaikan seluruh teknis dan sosial aspek alokasi kuantitas air, penilaian kualitas air dan kapasitas bangunan masyarakat setempat. Secara umum, Putu yang dulunya merupakan bagian tim Popo Danes Architect bertanggung jawab sebagai manajer proyek lokal dengan tugas mengkoordinasi dan mengelola seluruh program di tingkat lokal. Selain itu Putu juga mengerjakan desain dan persiapan konstruksi. Menurut Putu, pencapaian terbesar dari proyek ini ditandai dengan kolaborasi sukses dalam masyarakat dalam memberikan sistem infrasuktur air baru bagi sekelompok orang yang sebelumnya tidak memiliki akses air bersih, menurutnya sudah 2 tahun sejak proyek ini, pendistribusian air tidak pernah putus. Dalam jangka panjang proyek bertujuan untuk memberikan masyarakat sebuah sistem organisasi air sumur dengan pengelolaan dimana mereka benar-benar terlibat didalamnya.
Disamping mengerjakan proyek besar untuk keberlangsungan desanya, Putu juga mengerjakan proyek untuk rumah tinggal di Tenganan dengan tetap mengindahkan pakem-pakem yang sudah ada.
Fitorio Bowo Leksono memberi masukan pada Putu Wiadnyana dalam forum |
Desa Tenganan dengan infrastruktur yang memilki aturannya sendiri memancing seorang audiens untuk bertanya mengenai batasan-batasan renovasi rumah tinggal di Tenganan. Renovasi rumah tinggal di Tenganan dilakukan tidak lepas dari keberlangsungan upacara-upacara yang akan dilakukan pemilik rumah kedepannya. Hal ini adalah peraturan tidak tertulis yang sebaiknya diindahkan.
Kemudian salah satu audiens, Fitorio Bowo Leksono memberi masukan mengenai keberadaan kain dengan sistem double ikat yang dikatakan Putu hanya ada 2 di dunia, menurut Fitorio di Okinawa-Jepang juga terdapat kain yang dibuat dengan sistem double ikat turun-temurun.
Salah satu presenter Architects Under Big 3 #6, Andika Priya Utama yang hadir malam itu menanyakan pandangan Putu sebagai warga Desa Tenganan yang sudah pernah melihat daerah daerah maju di luar Desa Tenganan, apakah menimbulkan pemikiran-pemikiran bagi perkembangan Desa Tenganan. Putu mengakui, banyak hal yang perlu diperbaiki, khususnya konsep dan filosofi yang mulai bergeser. Putu memberi contoh persepsi warga Desa Tenganan terhadap periwisata. Dampak nyata yang terjadi adalah pergeseran pola pikir warga Tenganan yang cenderung menjual demi kepentingan materi daripada mendalami makna dari upacara -misalnya.
Nampaknya alam memiliki waktunya sendiri. Ketika interaksi Putu dengan audiens dirasanya cukup, hujan mulai turun membasahi kami semua yang hadir disana.
Putu, pemuda asli Tenganan Pageringsingan hari ini telah memberi pelajaran pada kita untuk membangun tanah kelahirannya dengan tetap berpegang pada kearifan lokal yang ada.
No comments:
Post a Comment