Tuesday, April 29, 2014

Post Event Release: Architects Under Big 3 Closing The 4th Year

Architecture Field Trip 

Architecture Field Trip untuk penutup AUB tahun ke empat di laksanakan dengan menjelajahi Bali Utara, mengapa bali utara?, menurut Popo Danes selama ini kebanyakan orang berorientasi ke arah Bali Selatan daripada ke arah Bali Utara, sedangkan banyak potensi di Bali Utara yang bisa di gali dari segi budayanya, dan untuk lebih mendalami Bali Utara dari segi budaya, Field trip kali ini mengunjungi beberapa obyek yakni : Rumah Intaran, Pura Maduwe Karang, Pura Beji, Pura segara dan Pelabuhan Buleleng serta menjelajahi kota tua di Singaraja (Masjid Kuna (merupakan masjid pertama di Singaraja), pertokoan lama di singaraja, dan klenteng.


konstruksi rumah kayu dan workshop di Rumah Intaran


Objek pertama adalah Rumah Intaran yang didirikan oleh Gede Kresna, begitu sampai di rumah intaran, peserta langsung menuju ke bagian tengah pekarangan rumah intaran, disana terdapat rumah berbahan kayu bekas yang sedang di bangun oleh tim Rumah Intaran, rumah tersebut berupa rumah panggung dan semua material nya menggunakan kayu bekas, menurut Gede Kresna kayu bekas yang sudah tua merupakan kayu yang kuat dan tidak membutuhkan banyak maintenance. Eksplorasi rumah Intaran berlanjut ke bagian depan dimana terdapat workshop tempat para tukang kayu (artisan) bekerja, disini banyak terdapat berbagai macam maket konstruksi kayu proyek yang pernah di kerjakan oleh Gede Kresna bersama tim Rumah Intaran.

Peserta field trip berdiskusi bersama Gede Kresna di area workshop kayu 

 Peserta lalu masuk ke dalam galeri terbuka dengan ventilasi bambu yang memiliki pintu tua, di dalam galeri ini terdapat benda benda seni dan juga maket proyek yang dimiliki Gede Kresna, maket yang terbuat kebanyakan memiliki skala 1:200, hal ini memudahkan bagi Gede Krisna untuk menjelaskan kepada klien serta memudahkan untuk bagi para tukang kayu untuk mempelajari dan melihat struktur kayu sehingga bila dapat dirakit ulang dengan mudah. Setelah selesai dari melihat karya yang ada di galeri, peserta field trip di suguhkan cofee break dari Rumah Intaran dan kegiatan dilanjutkan dengan diskusi bersama Gede Kresna dan Popo Danes.

Gede Kresna mengawali diskusi dengan menjelaskan makna Rumah Intaran, menurut Gede Kresna Rumah Intaran bila dijelaskan dengan 2 kata adalah Rumah Perlawanan, yakni perlawanan akan nilai nilai kesementaraan, selain itu mengapa dinamakan Rumah Intaran, karena di pekarangannya banyak di tumbuhi oleh Pohon Intaran, pohon Intaran yang juga disebut sebagai Pohon Soekarno ini merupakan pohon yang penting, baik sebagai obat obatan, sebagai penahan tanah maupun pemecah angin. Namun menurut Gede Kresna banyak masyarakat yang tidak mengetahui fungsi pohon ini sehingga banyak yang menebang dan menjualnya dengan murah, maka dari itu tim Rumah Intaran bersama masyarakat yang sadar akan kegunaan daun intaran, melakukan penanaman sebanyak banyak nya pohon ini sebagai simbol “perlawanan” karena tidak mempunyai kekuatan untuk melarang penebangan yang terjadi. 

 Peserta field trip berdiskusi bersama Gede Kresna di area galeri Rumah Intaran

Diskusi dilanjutkan dengan pertanyaan yang datang dari peserta field trip, pertanyaan pertama datang dari Liliyas (Arsitek Gfab), Liliyas bertanya perihal bagaimana idealisme Gede Kresna dalam menyeleksi klien. Gede Kresna menjawab dengan penjelasan bahwa, sebelum memuali  suatu proyek, Gede Kresna selalu menjelaskan ada beberapa hal yang harus diketahui oleh Klien sebelum bekerja sama lebih jauh bersama Rumah Intaran, yakni Hal terbaik yang bisa dilakukan di atas site adalah: tidak melakukan apa apa, dan Arsitektur adalah awal dari sejumlah proses pengrusakan terhadap tatanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga klien harus mengganti oksigen yang hilang dari terbangun nya proyek dengan membayar untuk penanaman sejumlah pohon kembali. Dari hal yang di jelaskan oleh Gede Kresna di awal sebelum bekerja sama tersebut, maka dengan sendirinya klien akan terseleksi, yang ingin bekerja sama lebih jauh akan kembali lagi ke Rumah Intaran.

Pertanyaan kedua datang dari Charles (RMIT), charles bertanya perihal bagaimana mengajari tukang untuk membuat detail dan struktur kayu yang di desain oleh Gede Kresna, Gede Kresna menjelaskan bahwa Gede Kresna memiliki instruktur tukang yang sudah terlatih dan terampil dalam pengerjaan kayu, sehingga instruktur inilah yang membantu untuk membimbing tukan kayu yang lain dalam pengerjaan struktur kayu dan finishing kayu di setiap proyek.

Pertanyaan ketiga datang dari Lisana (Arsitek Archimetriz Architect), Lisana bertanya perihal bagaimana Gede Kresna melakukan eksplorasi bentuk perpaduan budaya ke dalam sebuah bangunan tradisional karya nya. Gede Kresna menjelaskan dengan meberi contoh sebuah bangunan Yunani dimana, bangunan tersebut dapat mengintimidasi orang begitu masuk ke dalam bangunannya dengan ukuran kolom yang besar dan tinggi. Gede Kresna menunjukan sebuah maket dimana Gede Kresna mencoba untuk menjadikan bangunan tradisional menjadi sesuatu yang mengintimidasi, dengan struktur atap joglo dan memiliki kolom berukuran 40 X 40 dengan tinggi 8 M. 

Diskusi pun di tutup dengan ajakan Gede Kresna untuk makan siang bersama di pekarangan Rumah Intaran, setelah itu kunjungan berlanjut ke Pura Maduwe Karang, begitu masuk ke area Pura Maduwe Karang, Popo Danes menunjukan kepada peserta sebuah pahatan di area utara dinding Pura, yakni pahatan seorang lelaki mengendarai sepeda dengan roda belakang dari daun tunjung. Popo Danes menjelaskan bahwa ukiran Bali Utara lebih feminim dari pada ukiran Bali Selatan, Popo Danes menganalogikan dengan kodok, bahwa kodok jantan lebih kecil daripada kodok betina, maka dari itu tampilan fisik menipu namun spirit tidak menipu, sama halnya dengan ukiran Bali Utara lebih kasar dan asimetris bila dibandingkan dengan Bali Selatan. Setelah peserta selesai mengeksplorasi Pura Maduwe Karang, perjalanan berlanjut ke Pura Beji.

  Pura Maduwe Karang

Di Pura Beji, Popo Danes memperkenalkan Gede Yasa, seorang pemahat yang mengukir di Pura Beji, diskusi pun terjadi antara Popo Danes, Gede Yasa, Gede Kresna dan peserta Field Trip, peserta bertanya perihal makna ukiran yang ada di Pura Beji, Gede Yasa menjelaskan bahwa ukiran di Pura Beji ada artinya, yakni mengisahkan sesuatu kejadian yang terjadi di sekitar Pura dan di curahkan ke dalam ukiran Pura Beji, Gede Kresna menambahkan dengan penjelasan bahwa pura di Buleleng sudah mengenal Pop Art Cuma tidak didefinisikan, Gede Kresna menjelaskan bahwa Pop Art adalah segala hal yang tidak ada di sastra, dan sastra membuat Pura di Bali adalah Mahabarata dan Ramayana, sehingga unsur unsur kolonial yang ada di dalam pura merupakan pengaruh pengaruh arsitektur dari luar. Sebuah Pura yang menampung banyak orang, sebenarnya tidak pernah lepas dari siapa yang menghegemoni kekuasaan pada saat itu, sehingga gaya Eropa hadir pada saat Eropa berkuasa di Bali, Popo Danes menambahkan dengan memberikan penjelasan bahwa Pura Beji adalah Pura Subak, merupakan lambang rasa syukur petani untuk pertiwi, dan dikarenakan status Pura yang tidak tinggi, sehingga mereka bisa lebih bebas untuk berkreasi di dalam Pura.

Peserta field trip berdiskusi di Pura Beji bersama Popo Danes dan Gede Kresna

Setelah diskusi dan foto bersama di Pura Beji selesai,  Field Trip berlanjut ke Pura Segara Sangsit, Pura ini menggunakan material batu Singaraja yang penuh dengan ukiran, tidak banyak terjadi diskusi di dalam Pura Segara di karenakan waktu yang sudah sore dan field trip pun berlanjut ke Pelabuhan Buleleng, setibanya di Pelabuhan, Popo Danes menjelaskan bahwa dulu banyak terdapat bangunan tua kolonial di area sekitar Pelabuhan, namun bangunan tersebut sudah dihancurkan oleh pemerintah setempat dan diganti dengan bangunan baru dengan style Bali.


Peserta field trip berdiskusi di area pelabuhan bersama Popo Danes dan Gede Kresna

Field trip berlanjut ke area pertokoan tua dengan berjalan kaki, Popo Danes memasuki salah satu toko yang di belakang toko tersebut merupakan bangunan tua bergaya Chinese yang di miliki oleh pemilik toko tersebut, bangunan tua tersebut berupa rumah dengan struktur kayu yang sudah tua namun kekokohan nya masih sangat bagus terlihat, balok kayu yang memiliki dimensi besar dan menopang plat lantai kayu  yang sudah berusia ± 50 tahun masih sangat awet menjadi struktur rumah tersebut. Perjalanan berlanjut ke masjid Kuna, merupakan masjid pertama di Singaraja, setelah selesai mengunjungi Masjid Kuna, peserta kembali ke area Pelabuhan dan acara field trip closing AUB 3 4th year di tutup dengan berfoto bersama di dalam Klenteng di dekat Pelabuhan.

Rumah tua bergaya Cina

Peserta Field trip bersama Popo Danes dan Gede Kresna

No comments:

Post a Comment