Friday, January 7, 2011

Post Event Release Architects Under Big 3 #9 Rossi Irawan - Post Disaster Architecture

Rossi Irawan

Malam tadi, Architects Under Big 3 yang membuka edisi pertama di tahun 2011 di buka oleh sambutan oleh Popo Danes, yang sekaligus memperkenalkan Green Building Council Indonesia (GBCI) Bali kepada para audien yang berjumlah kurang lebih 60 orang ini. Popo Danes mengajak para arsitek muda untuk ikut mengenal dan bergabung dalam GBCI Bali.

Kemudian, presenter Architects Under Big 3 #9 Rossi Irawan membuka malam dengan memutar video tsunami yang menerjang Daerah Istimewa Aceh 26 Desember 2004 silam. Video itu membuka kembali kenangan pahit betapa bencana besar tersebut dalam sekejap meluluhlantakkan seluruh kota dan menelan banyak korban jiwa.

Momentum 26 Desember memaknai kembali bencana tsunami di Daerah Istimewa Aceh dari sudut pandang arsitektural. Memaknai lagi bagaimana arsitektur bisa memberikan sumbangsih terhadap kemanusiaan. Berbagi sebuah wacana tentang berproses, berarsitektur.

Suasana AUB3 #9
Rossi membagi presentasinya dalam dua garis besar. Pertama, Balance Between Constraint (keseimbangan dalam keterbatasan) -sebuah cuplikan frase yang diambil dari tulisan Moshe Safdie, arsitek dari Israel-. Kehadiran arsitektur tidaklah selalu diidentikan dengan bentuk yang megah, monumental maupun mewah. Lebih dari itu, arsitektur merupakan sebuah solusi responsif yang bisa hadir dengan segala kondisi. Segala keterbatasan tidak akan menghalangi proses kreatif untuk menciptakan (invent) produk arsitektur yang berkualitas. Dalam hal ini, proses analisa data tentang keadaan sekitar menjadi sangat penting karena dari kondisi yang sudah ini (potensi lahan dan sumber daya) kemudian dimaksimalkan untuk menghasilkan produk arsitektur. Konteks yang digunakan dalam hal ini bukan hanya tipologi lokal, tetapi lebih pada usaha untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki atau tersedia di lokasi termasuk didalamnya adalah sumber daya manusia yang ada.

Contoh nyata salah satunya adalah Gando Primary School di suatu desa terpencil bernama Burkina Faso, Afrika. Sekolah ini menggunakan material setempat dan mengajak masyarakat sekitar untuk berpartisipasi langsung dalam pembangunan. Metode pembangunan menggunakan metode lokal, seperti penggunaan bata pres yg sudah biasa dilakukan. Material modern yg digunakan ada pada bagian atap yaitu menggunakan seng gelombang dan rangka baja sebagai strukturnya. Arsitektur sekolah ini meraih Aga Khan Award.

Contoh lainnya adalah Sandbag Prototype. Dilatarbelakangi oleh banyaknya pengungsi dan orang terlantar akibat bencana dan perang, seorang arsitek Iran menghasilkan penelitian tentang rumah tinggal murah yang berasal dari material apa adanya. Konsep perancangannya adalah setiap orang bisa mendirikannya sendiri dan murah karena bahan2 diambil dari material di sekelilingnya. Metodenya yaitu mengumpulkan tanah atau lumpur yg kemudian dimasukkan dalam sebuah karung dan disusun menjadi bentuk dome/kubah yg diikat oleh kawat. Shelter dari kantong pasir ini merupakan protype untuk tempat tinggal sementara dlaam keadaan darurat. Pada perkembangan selanjutnya dapat digunakan sebagai tempat tinggal permanen dengan menambahkan finishing semen.

Errik Irwan, Salah Satu Penanya

Bagian kedua berjudul Architecture for Humanity ( Arsitektur untuk Kemanusiaan)

Bencana di Aceh menggerakkan hati Rossi untuk bergabung dalam tim dari kampus Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, yang ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk membantu urusan penyediaan tempat tinggal sementara. Mereka bertugas di Calang, Aceh, salah satu dari dua daerah yang paling parah terkena imbas tsunami. Tim bertugas membuat bangunan yg kontekstual dengan keadaan saat itu.

Dari kebutuhan masyarakat yang ada, konsep yang muncul adalah sebuah bangunan yg mampu memberikan privatisasi bukan berupa tempat tinggal massal seperti tenda penampungan. Selain itu, syarat bangunan bisa dibangun oleh siapa saja, material mudah didapat dan tahan gempa, harus bisa dipenuhi.

Konsep ini kemudian diwujudkan dalam penggunaan material bangunan yg tidak menggunakan banyak jenis dan memanfaatkan beberapa material lokal. Material kayu papan digunakan untuk dinding dan atap, bata bekas digunakan untuk dinding kamar mandi dan pondasi, asbes menjadi alternatif material atap. Alat yang digunakan untuk membangunpun menggunakan alat yang sederhana seperti palu, paku dan gergaji, tidak memerlukan penggunaan alat berat. Rangka modular per 1.2 meter agar fungsinya efisien. Luas per tipe tempat tinggal seluas 36 m2, ditentukan oleh badan mitigasi bencana. Untuk membangun satu buah rumah, diperlukan waktu target minimal 10 jam untuk pembangunan per unit. Namun dalam keadan dilapangan, waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit rumah berkisar selama 2 hari.

Proses pembangunan rumah yang disebut dengan R. I. A. (Rumah ITS untuk Aceh) dimulai dari pondasi, semua dilakukan manual, mulai dari penyikuan dan pekerjaan bekesting. Sistem pondasi umpak (40 x 20 x 30 cm) kemudian dipasang besi tulangan. Memasang modular kuda2. Setelah itu, memasang dinding untuk mengikat antar modul kuda2 menjadi sebuah ruang. Proses selanjutnya pemasangan atap dari asbes. Proses finishing ditandai dengan pengerjaan lantai dengan semen.Bangunan darurat yang dihasilkan tidak hanya berfungsi sebagai rumah tapi juga sekolah, kantor pemerintahan.

Pembangunan rumah R. I. A. dilakukan oleh LSM, relawan dan TNI dari batalyon zeni. Relawan bekerja tiap hari mulai jam 8 pagi sampai dengan jam 4 sore dan menempuh perjalanan kaki sejauh 2 kilo dari tenda tempat tinggal selama di Aceh ke lokasi pembangunan.

Konsep R. I A. secepatnya mengembalikan kehidupan normal setelah mengalami bencana besar dimulai dengan hadirnya arsitektur. Pencapaian yg memuaskan bisa memberikan sumbangsih sehingga korban bencana mampu memulai kehidupan secara normal kembali. Hal ini membuktikan bahwa dengan hadirnya arsitektur mampu menjadi titik awal dalam membangkitkan kegiatan sosial masyarakat untuk selanjutnya dapat mengembalikan kehidupan masyarakat secara layak. Contoh kasus seperti ini menunjukkan betapa arsitektur bisa hadir maksimal bahkan dalam suatu keterbatasan.

No comments:

Post a Comment