Tuesday, April 12, 2011

Post Event Release Architects Under Big 3 -Closing The First Year-

Memasuki edisi ke-12 di bulan April menjelang tutup tahun Architects Under Big 3 (AUB3) serangkaian kegiatan yang lain dari biasanya diadakan, diantaranya: Sketch and Architectural Model Exhibition, Architectural Workshop “Dimanakah Batas Bali?” dan ditutup oleh Talkshow “Arsitektur untuk (Si)apa?”.

Sketch and Architectural Model Exhibition

Salah satu audiens memilih poster AUB3 favoritnya
Sketch and Architectural Model Exhibition merupakan pameran berkurasi yang diikuti oleh 12 orang arsitek muda di bawah 30 tahun. Eko Prawoto, Ketut Rana Wiarcha dan Popo Danes bertindak sebagai kurator pameran. Dalam karya-karya yang ditampilkan, terlihat perspektif dan sikap kritis arsitek muda mengenai arsitektur yang hadir atas dasar kegelisahan mereka terhadap isu dan wacana kritis arsitektur yang sedang terjadi, walaupun masih dalam tahap rintisan.

Bpk. Eko Prawoto membuka pameran ditandai dengan menggambar sket pohon

Pameran berlangsung selama sepuluh hari. Dalam acara pembukaan yang berlangsung tanggal 1 April silam, AUB3 juga mengadakan poling untuk memilih poster dan presenter AUB3 1 – 11 terfavorit dalam AUB3 Awards. Kedua gelar tersebut jatuh pada Iwan Sastrawan, presenter AUB3 #3. Selain itu, beberapa penghargaan juga diberikan kepada presenter dan audiens atas dedikasi dan sumbangsih mereka selama satu tahun kebelakang. Penghargaan tersebut antara lain: The Most Frequently Presented (architect), Laksana Eka Semarajana Putra; The Most Frequently Presented (non-architect), IPG Esha Satrya Wibhawa; The Most Responsive Presenter, Andika Priya Utama (AUB3 #6); The Most Responsive Audience, Errik Irwan Wibowo; The Most Crowded Presentation, Effan Adhiwira (AUB3 #4); The Most Active Discussion, Iwan Sastrawan (AUB3 #3); The first @underbig3 Follower, Nur Alyani Moeliono dan The Most Retweeted @underbig 3, A. A. Putrika Pradnyani.


Bpk. Vava menyerahkan pohon dan awards pada Effan Adhiwira sebagai The Most Crowded Presentation

Penyerahan AUB3 Awards dilanjutkan oleh serah terima jabatan. Program Manager AUB3 tahun kedua dilanjutkan oleh Wira Putri dibantu oleh Andeshita Oki menggantikan Erika Dyah yang telah bertugas selama tahun pertama.

Nampak hadir Bpk. Paulus Mintarga, Arief Budiman dan M. Bundhowi diantara audiens.

Architectural Workshop : “Dimanakah Batas Bali?”
Mencari sudut pandang pada keseimbangan Bali yang baru

Suasana Workshop AUB3

Workshop berlangsung satu hari penuh pada hari Sabtu, 2 April 2011 di Danes Art Veranda Denpasar Bali berlangsung dengan suasana yang akrab dan sarat dengan spontanitas, melengkapi antusiasme peserta workshop yang berjumlah kurang lebih 28 orang yang dibagi menjadi 5 kelompok diskusi. Sebelum mengikuti workshop, sebagai syarat pendaftaran peserta diwajibkan untuk menulis esay pendek 200 kata mengenai Pandangan Arsitek Muda terhadap Arsitektur Bali di Masa Datang.

Bpk. Popo Danes dan Ketua IAI Bali, Bpk. Ketut Rana Wiarcha, IAI

Workshop dibuka oleh Popo Danes dan Ketua IAI Bali Ketut Rana Wiarcha, IAI lalu langsung dilanjutkan dengan keynote dari pemateri workshop Adi Purnomo.

Seperti yang telah dituliskan oleh Mamo-begitu Adi Purnomo akrab disapa, workshop berpeluang untuk berlangsung terus, tidak berhenti bersamaan dengan berakhirnya acara ini saja. Topik yang sangat luas dipilih sehingga dapat memunculkan berbagai macam sudut pandang, tentang Bali dimana AUB3 berbasis. Bersama Mamo, workshop membebaskan para peserta untuk tidak perlu ‘terburu-buru’ mewujudkannya dalam satu rancang ruang atas data yang diharapkan.

Cok Gung, salah satu peserta workshop mengemukakan hasil pemikiran kelompoknya.

Workshop dimulai dengan diskusi dalam kelompok yang hasilnya dapat dirumuskan oleh Mamo dibantu oleh tim workshop menjadi beberapa kategori sub topik awal, yaitu Rural/urban, material, sosial/budaya, dan lingkungan. Beberapa sebaran temuan tersebut antara lain :

Kelompok 1 : Detil transportasi, wisata publik.
Kelompok 2 : Makam (setra) – ruang terbuka hijau
Kelompok 3 : Sistem transportasi
Kelompok 4 : Kantong parkir, material persembahyangan, ketimpangan wisata.
Kelompok 5 : Pasar – ruang komunal/hijau/terbuka.

Foto bersama pemateri, peserta dan panitia Architectural Workshop

Setelah itu peserta mulai diarahkan untuk mulai mengumpulkan data-data otentik berkaitan dengan sub-sub topik yang diangkat. Disinilah posisi data-data otentik untuk mengetahui sejauh mana batas Bali untuk mendapat aplikasi dari ide, konsep, dan pemikiran-pemikiran baru sebagai solusi dari permasalahan Bali saat ini dan diharapkan menjadi sebuah keseimbangan baru yang sesuai dengan kekinian.

Talkshow ”Arsitektur untuk (Si)apa?”

Ki-ka: Putu Edy Semara, Yu Sing dan Effan Adhiwira

Minggu, 10 April 2011. Sebagai penutupan dari rangkaian acara ‘Architects Under Big 3, Closing The First Year’ Putu Edy Semara dan Yu Sing semalam berbagi pengalaman mereka dalam berarsitektur secara singkat dalam talkshow dengan tema ‘Arsitektur Untuk (Si) apa?’. Hujan deras yang mengguyur kota Denpasar sejak sore harinya tidak menyurutkan antusiasme sekitar 70 orang audiens untuk datang. Nampak pula Imelda Akmal, Sonny Sandjaya dan Paulus Mintarga.

Putu Edy Semara seorang arsitek yang berpengalaman dalam bidang hospitality design dan berpraktek profesi di Bali, sekaligus juga sebagai putra kelahiran Bali, memulai presentasinya dengan pertanyaan ’Arsitektur untuk si....?’ dan ’Arsitektur untuk apa?’. Bercerita mengenai permasalahan utama yang dihadapi oleh arsitek muda dalam dunia profesional pada saat ini. Terjadinya fenomena arsitek indomie (arsitek instan), kurang jujur (fenomena copy, paste, dan edit dalam dunia arsitektur), tidak sabar (keinginan untuk cepat terkenal dengan bayaran besar), kurang ikhlas, dan berdiam pada zona nyaman (sudah merasa cukup).

Suasana talkshow di tengah guyuran hujan yang membasahi tanah Kota Denpasar

Putu Edy Semara bahwa Bali saat ini memerlukan bangunan tinggi, dalam konteks permukiman bukan bangunan komersil sebagai salah satu upaya mengurangi terjadinya alih fungsi lahan hijau sebagai solusi dari perkembangan Bali yang sudah melebihi daya dukung dan daya tampungnya. Di akhir pemaparan, Putu Edy Semara juga berbagi pengalaman mengenai pentingnya kemampuan berkomunikasi seorang arsitek dalam meng-edukasi klien sehingga dampak negatif dari hasil karya arsitektur yang dihasilkan terhadap lingkungan (sosial maupun fisik) dapat diminimalisir.

Sesi kedua talkshow dilanjutkan oleh pemaparan dari Yu Sing, seorang arsitek yang memberikan perhatian lebih pada lingkungan dan rumah bagi masyarakat membagi pemaparannya dalam tiga bagian besar. Bagian pertama mengenai (kondisi) segregasi (keterpisahan satu golongan dengan golongan lainnya). Bagian kedua ialah mengenai posisi (arsitek) di Indonesia, dan bagian terakhir mengenai peran arsitektur dalam konteks situasi Indonesia kini.

Yu Sing menjawab semua segregasi yang terjadi di Indonesia dengan satu pertanyaan ’Sudahkah arsitek dan arsitektur memberikan perhatian lebih banyak pada yang lebih lemah (masyarakat, alam, lingkungan)?

Yu Sing juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap meluasnya budaya global di Indonesia yang berpengaruh terhadap keseragaman bentuk arsitektur dari Aceh sampai Papua. Dengan memberikan contoh pada kehidupan budaya adat Sunda, seharusnya arsitek mampu menghasilkan karya (perencanaan atau perancangan) dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal. Membangun Indonesia tetap bhinneka, sebagai sumbangsih warna bagi warisan dunia.

Di akhir pemaparannya, Yu Sing mengangkat pentingnya saling ketergantungan antara warga, pemerintah, dan swasta guna mewujudkan pembangunan yang lebih ’ramah’ terhadap yang lebih lemah (masyarakat, alam, lingkungan).

Bpk. Pica, salah satu penanya

Sesi diskusi yang dilakukan setelah pemaparan dari Yu Sing berakhir, dipandu oleh Effan Adhiwira berlangsung dengan cukup seru. Penanya pertama dari Bapak Pica, seorang dosen di Dhyana Pura. Mengungkapkan kekhawatirannya mengenai perkembangan dan berbagai permasalahan Bali saat ini. Permasalahan sampah, kepadatan lalu lintas, kaum urban di Bali dan ekowisata yang tidak mendapatkan penanganan serius dari pemerintah. Putu Edy Semara mengungkapkan pentingnya ’Sustainable Planning’ secara menyeluruh di Bali sebagai salah satu jalan keluarnya. Yang juga disetujui oleh Yu Sing, dengan menambahkan bahwa suatu gerakan nyata, meskipun kecil, akan sangat membantu.

Salah satu presenter Architects Under Big 3 #6, Andika Priya Utama yang juga hadir juga menanyakan pada Yu Sing dan Putu Edy Semara mengenai untuk apa dan siapa mereka berarsitektur. Yu Sing berkomitmen pada rumah murah yang ramah lingkungan serta memiliki karakter. Sedangkan Putu Edy Semara berkomitmen untuk menjadi arsitek yang lebih baik, dan berusaha untuk lebih mengedukasi.

Acara talkshow diakhiri dengan pembagian doorprize berupa empat buah buku arsitektur. Dua buah buku dari yu Sing, yang merupakan hasil karyanya, berjudul ’Mimpi Rumah Murah’. Dan dua buah buku dari Imelda Akmal, yang malam itu juga berkesempatan untuk hadir di awal acara. Satu buah buku berjudul ’50 Indonesian Architects + Emergings’. Dan satu buku lagi yang disponsori oleh IMAJIBOOKS dan baru akan launching pada 28 April 2011 mendatang yang berjudul ’50 Indonesians houses + Villas’

Dengan berakhirnya Talkshow ”Arsitektur untuk (Si)apa?” maka Architects Under Big 3 –Closing The First Year- berakhir pula. AUB3 berharap kegiatan ini tidak hanya berhenti sampai disini saja, sebaiknya menjadi  berkelanjutan. Bahwasanya pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab hendaknya menjadi pekerjaan rumah bagi generasi muda dan untuk Indonesia yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment