Elvania Alice Da Rosa |
Jumat di minggu pertama bulan Agustus, seorang gadis muda, lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Atma Jaya tampil sebagai presenter di edisi ke – 16 Architects Under Big 3. Di depan kurang lebih 45 orang audien, Alice memaparkan ide – idenya mengenai “Green Architecture”.
Maraknya isu pemanasan global yang muncul ke permukaan beberapa tahun terakhir ini, membuat Alice dan teman – temannya tergerak dan memunculkan ide – ide untuk mengantisipasi timbulnya keadaan yang lebih buruk nantinya, yaitu arsitektur hijau. Alice mengatakan bahwa ide – ide hijau dapat dimulai dari hal - hal yang sederhana. Dengan kesadaran penuh mengenai pentingnya desain yang berkelanjutan dan arsitektur hijau. kemudian ide – ide tersebut disosialisasikan di tengah – tengah sikap bangga akan kemewahan dari sebagian besar masyarakat. Dalam hal ini, kita sebagai arsitek dapat berpartisipasi karena kita juga bergerak untuk hal manusia, ruang, dan waktu.
Audien Architects Under Big 3 #16 |
Berorganisasi menjadi salah satu cara Alice untuk mensosialisasikan ide = ide tersebut. Berangkat dari minat dan tujuan yang sama, di dalam organisasi kita dapat saling bertukar pikiran, berdiskusi, memperluas relasi, dan tentunya melakukan kegiatan bersama. Banyak komunitas yang terbentuk atas kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan, baik berbentuk organisasi profit maupun non – profit, yang mencoba untuk mensosialisasikan ide – ide hijau. Salah satunya adalah organisasi yang saat ini diikuti oleh Alice yang telah beranggotakan lebih dari 13.000 orang dari seluruh pelosok Indonesia, dan beberapa negara lain, dengan basis di Bali dan Jakarta. Melalui komunitas ini, para anggota dengan latar belakang yang bermacam – macam (tidak hanya arsitek) diajak untuk berperan aktif melalui kegiatan rutin dengan tema yang berbeda – beda.
Alice juga memaparkan bahwa sebenarnya leluhur kita sudah memiliki dan kemudian mengaplikasikan ide – ide hijaunya kedalam bentuk arsitektur tradisional dengan konsep lokalitasnya. Oleh karena itu, sebetulnya lokalitas dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif cara untuk menerapkan arsitektur berkelanjutan. Contohnya adalah dinding yang terbuat dari tanah yang ada di Desa Puhu, dan atap bambu yang ada di Desa Bayung Gede. Keduanya adalah material alami, mudah didapatkan di daerah tersebut, dan selain memiliki nilai fungsi juga memiliki nilai estetika.
Atap Bambu Desa Bayung Gede |
Menurut Alice konsep lokalitas tersebut seharusnya juga mendapatkan perhatian dari para pemerhati lingkungan, atau arsitek. Alice berkata bahwa hal yang paling diperlukan untuk mewujudkan material lokal tersebut menjadi lebih modern, inovatif dan variatif adalah kreatifitas, skill dan pengetahuan teknis detail. Diakhir presentasi Alice juga memperlihatkan video cara pembuatan dinding tanah yang ada di Desa Puhu.
Tahap-tahap Pembuatan Tembok Tanah Desa Puhu |
Acara pun dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penanya pertama adalah Effan Adhiwira, yang merupakan presenter pada Architects Under Big 3 tahun pertama pada bulan yang sama. Effan yang baru saja mengikuti summer course di Inggris mengatakan bahwa Ia merasa terinsipirasi dengan materi yang dibawakan oleh Alice. Menurutnya dengan adanya komunitas tersebut, banyak orang – orang yang jadi lebih ingin tahu dan ingin mempraktekkan. Effan pun bertanya apakah konstruksi dinding tanah tersebut dapat digunakan pada bagunan rumah dan berapa batas maksimal ketinggiannya. Alice menjawabnya dengan jelas bahwa dinding tanah ini bisa digunakan untuk dinding setinggi 3 meter, namun membutuhkan waktu yang lama karena setiap ketinggian 40 cm harus menunggu selama satu minggu agar dinding tersebut benar – benar kering dan kuat.
Para Penanya: Shinta, Effan dan Rossi |
Penanya kedua adalah Rossi Irawan, yang juga salah satu presenter di AUB3 tahun pertama, edisi ke-9. Ia bertanya bagaimana system ruang dan hubungan antara dinding dan atap, dan berapa lama dinding ini dapat bertahan. Alice mengatakan bahwa struktur atap tidak menyatu dengan dinding. Dan rumah dinding tanah yang paling tua yang ada di Desa Puhu sudah berusia 60 tahun.
Penanya terakhir, Shinta, menanyakan bagaimana dari segi ketahanan gempa. Alice bercerita bahwa selama ini rumah – rumah di Desa Puhu belum ada yang mengalami kerusakan. Penanya lain adalah WK ia menyanyakan apakah terjadi pengikisan pada dinding ketika hujan. Alice menceritakan bahwa ketika terkena hujan, yang terjadi adalah lumut tumbuh di dinding, dan ketika dibersihkan (menggunakan cara digerus) mengakibatkan dinding tanah seperti terkikis, namun malah menghasilkan tekstur tersendiri.
Audiens lain yang tergabung dalam komunitas yang sama dengan Alice memberikan masukan, antara lain Selina dan Oryza, mereka bercerita bahwa kegiatan komunitas ini sangat menginspirasi banyak orang dan dapat mengembangkan potensi lokal yang ada sehingga dapat dikenal oleh masyarakat luas.
No comments:
Post a Comment