Monday, November 7, 2011

Post Event Release Architects Under Big 3 #19 I Putu Adi Widiantara


Hari Jumat ini Adi Wiwid membagikan ceritanya kepada sekitar 55 orang audien Architects Under Big 3. Pria lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Udayana ini berbagi pikirannya mengenai hubungan antara arsitektur dan cahaya. AUB3 kali ini pun kedatangan tamu istimewa yaitu Ibu Siwalatri, salah satu dosen arsitektur di Jurusan Arsitektur Universitas Udayana yang tak lain adalah dosen dari Adi Wiwid semasa kuliah. Dengan judul Hitam Putih, Adi Wiwid memulai presentasinya dengan sebuah quote.

“Sebuah perjalanan mecari makna terang dan gelap, serta mereka kembali arti sesungguhnya bahwa “arsitektur” itu makhluk sejenis apa.......”

Adi Wiwid memaparkan saat ini marak publikasi arsitektur, mulai dari rubrik di koran, tabloid mingguan, hingga coffee table book yang menawarkan arsitektur dengan bungkus mentereng, berlantai marmer mengkilap, parket anti gores, cat dinding anti cuaca, atap tahan bocor hingga bagaimana menjadi arsitek. Menjadi arsitekpun terkadang dianggap semudah membalikkan telapak tangan. Adi Wiwid pun bertanya – tanya apakah hanya seperti itu pandangan masyarakat terhadap arsitektur? Hanya sebatas menumpuk bata, melapisinya dengan semen, lalu diisi dengan perabotan dan kemudian di huni. Menurutnya pandangan seperti itu sangatlah dangkal.

Mengecewakan ketika banyak publikasi yang menghilangkan makna kata “keindahan”, “pesona”, “tersihir”, “intim”, “takjub”, “sunyi”. Hal – hal yang seharusnya kekal dan tak pernah kering untuk bersinar di ujung arsitektur. Kita menjadi semakin lupa dan menolak untuk memahami, bahwa intisari dari ruang adalah kekosongan, sepi, sunyi. Arsitektur adalah kemampuan arsitek untuk mempermainkan perasaan penikmat di dalamnya. Dengan memainkan cahaya dan mengubahnya menjadi bayangan dalam ruang – ruang bentukan denah, dan potongan, bukan tampak. Arsitektur adalah hidup, mengikatnya dengan tempat, kemudian tumbuh dan berakar, tempat memori dan nostalgia menjangkarkannya dengan waktu.





Menurutnya, arsitektur itu dimulai dari kekosongan, bukan bata, batu, atau beton yang kokoh. Bukan juga konfigurasi fasad yang mutakhir. Arsitektur adalah proses sebelum dan sesudah konstruksi.

Mengapa kita bisa menyebut hari dengan pagi, siang, sore, dan malam? Bukankah dengan melihat cahaya kita bisa menyebut waktu – waktu tersebut, bukankah dengan perubahan arah bayangannya kita bisa menandai hari tanpa melihat arloji?

Menurut Adi Wiwid dalam arsitektur-pun, cahaya dan bayangan memiliki peran yang sangat penting. Karena itulah sebagai arsitek kita sering memodifikasi bentuk dan arah bukaan dengan memodifikasi cahaya agar kualitas ruang sesuai dengan mood yang diinginkan. Mulai dari bulat, segitiga, kotak, pipih, lebar, tinggi, hingga tak beraturan. Cahaya bagi Adi Wiwid, menjadi satu elemen yang bisa mempengarui segalanya; kualitas permukaan akan terlihat tanpa menyetuhnya, bayanganlah yang menguasai psikologis kita. Rasa ruang yang berbeda hanya dengan mempermainkan arah bukaan dan titik penerangan.

Dalam arsitektur, hanya ada dua konfigurasi ruang yang memungkinkan, ruang yang melingkupi dirinya sendiri dan ruang yang bertautan dengan ruang lainnya dalam sebuah kontinuitas. Selama ini, jika ditanyakan mengenai definisi ruang, Adi Wiwid tidak pernah menemukan rangkaian kalimat yang terpat untuk menjawab karena menurutnya ruang hanya bisa dirasakan, bukan untuk didefiniskan. Dan hanya dengan cahaya dan bayangan kita mampu menjamah ruang dengan emosi, rasa, jiwa, dan psikologi.

Dalam berarsitektur, Adi Wiwid yang memiliki idealism tinggi selalu melakukan studi bayangan. Bagaimana bayangan yang akan dihasilkan dengan bukaan – bukaan yang ada, Apakah sudah cukup memberikan efek psikologis terhadap penikmatnya. Salah satunya adalah project TK yang ia kerjakan Presentasi pun ditutup dengan sebuah video mengenai efek psikologis yang didapatkan dari cahaya dan bayangan.



Acara pun berlanjut ke sesi diskusi. Ibu Siwalatri memberikan pengalamannya selama menjadi dosen, arsitek, dan mahasiswa. Baginya, hidup itu adalah matter of choice. Hidup itu adalah dimana kita bisa saling menghargai pilihan masing – masing. Ia juga berkata, arsitektur bali sulit dipisahkan dari budaya. Disetiap hal yang kita lakukan kita harus mempunyai acuan / pegangan. Sebagai arsitek kita harus egois, tetepi tetap harus rendah hati terhadap alam, lingkungan masyarakat, dan pilihan – pilihan yang dibuat orang lain.

Penanya lainnya adalah Dewi. Ia bertanya bagaimanakah seorang Adi Wiwid mempertahankan idealismenya selama ini, ditengah persaingan dan tekanan yang ada. Adi pun menjawabnya dengan jelas. Orang yang memiliki idealisme tentunya paham akan adanya resiko. Jika dirasa mampu menghadapi resiko maka kita harus mempertahankan idealism tersebut. Dan pesannya adalah jangan pernah merasa setiap karya arsitektur bisa dibeli dengan materi.

Audien berikutnya yang menanggapi adalah Dani. Ia bertanya bagaimanakah arsitektur yang baik menurut Adi Wiwid. Adi Wiwid menjelaskan bahwa arsitektur yang baik adalah sebuah karya yang bisa memberi pelajaran dan mengajarkan. Selain itu karya arsitektur yang baik adalah sebuah karya yang mampu memberikan pengalaman dan proses mengalami. Mampu memberikan dampak psikologis pada penikmatnya.

Audien lainnya adalah Fajar, ia berpendapat bahwa terkadang idealisme dan egoisme itu tidak terlalu berbeda. Karena Egoisme adalah sebuah emosi sesaat. Bagaimana Adi Wiwid bisa memisahkan keduanya. Menurut Adi, kedua hal tersebut memang sulit dibedakan, namun seiring dengan waktu, semakin bertambahnya pengalaman, maka akan terasa berbeda antara idealisme dan egoisme.

Salah satu arsitek favorit Adi Wiwid adalah Le Corbusier. Dalam presentasinya, ia menyebutkan salah satu quote favoritnya.

“Architecture is the learned game, correct and magnificent, of forms assembled in the light. Space and light and order. Those are the things that men need just as much as they need bread or a place to sleep.” – Le Corbusier

No comments:

Post a Comment