Diskusi
bersama Lintang Rembulan di dining room Popo Danes Architect kali ini dimulai
dengan penjelasan Lintang mengenai perjalanan Lintang selama 1,5 tahun berada
di desa dan kampung pinggir sungai, pengalaman Lintang sebagai pesanggrah dalam
program residensi yang diadakan Rujak Center for Urban Studies di Bumi Pemuda
Rahayu membuka diskusi kali ini, Lintang menjelaskan bahwa pesanggrah adalah
kegiatan mengabdikan diri kepada desa untuk mengangkat lokalitas warga untuk
berkarya, Lintang mengikuti kegiatan ini selama 2 bulan dan waktunya banyak
dihabiskan untuk berkumpul dan berdiskusi dengan warga mengenai perancangan dan
pembangunan gardu bambu, untuk perancangan gardu, Lintang menyerahkan
seluruhnya kepada warga dalam hal perancangan serta penggambaran desain, yang
Lintang lakukan hanya mentransformasikan gambar sketsa warga menjadi gambar
yang terukur agar lebih mudah dibangun serta membuat maket untuk mempermudah
menjelaskan saat dirapatkan dengan RT. Menurut Lintang akan sangat lain bagi
warga bila warga yang menggambar dan merancang sendiri gardunya, mereka akan
merasakan bahwa bangunan tersebut adalah milik mereka. Dari pengalaman Lintang
yang pertama ini, Lintang memperoleh kesimpulan bahwa semua orang adalah
arsitek bagi dirinya sendiri.
Pengalaman kedua Lintang bersama Arkom
bekerja sama dengan masyarakat marjinal yang hidup di pinggir sungai, di
tanah-tanah illegal, di ruang-ruang yang tak layak. Disini Lintang menjelaskan
pada awal bahwa Lintang memperoleh kesimpulan Memasyarakatkan arsitektur berarti
siap bekerja dengan 80% masyarakat tanpa kehidupan layak di Indonesia,
sedangkan pada saat ini arsitek hanya bekerja untuk 20% masyarakat yang mampu,
sedangkan lebih banyak yang membutuhkan arsitek pada tingkatan masyarakat tanpa
kehidupan layak, Lintang menjelaskan bahwa dengan ini arsitek bukanlah profesi
mahal bahkan profesi yang murah berdasarkan prosentase di atas.
Bersama Arkom, Lintang berkesempatan
mendampingi warga Dusun Papringan untuk merencanakan balai bambu di kawasan
permukiman mereka pinggir Sungai Gajah Wong Yogyakarta. Balai bamboo yang
diinginkan warga agar memiliki atap seperti museum Affandi dikarenakan lokasi
yang berdekatan dengan museum tersebut, namun dikarenakan lahan yang terbatas
pada akhirnya warga sendiri yang memutuskan untuk menggunakan atap miring
berbentuk kotak sederhana karena lebih efisien di lahan yang terbatas dengan
ukuran 2,5 M X 6M. Lintang kembali
tergerak, apa yang kali ini bisa arsitek lakukan? Ya,
‘sekedar’ mendampingi warga, tidak melakukan banyak intervensi atau bahkan
datang sebagai pembawa solusi atau kebenaran. Percaya bahwa warga mempunyai
daya dan kekuatan untuk memperbaiki lingkungan hidup mereka sendiri.
Bersama Arkom, Lintang juga memperoleh kesempatan
untuk mengerjakan proyek perbaikan kampung, Lintang
belajar bagaimana mendampingi masyarakat untuk bisa melihat serta mengkritisi
kelebihan dan kekurangan kampungnya, kemudian membuat perencanaan bersama lalu
membangunnya bersama pula dengan menabung Rp 2.000 per hari. Komunikasi yang
dekat dan erat, mengharuskan Lintang untuk melebur bersama warga, menghabiskan
hampir tiap sore hingga malam mengunjungi angkringan kampung tersebut juga
menghadiri pertemuan-pertemuan kampung. Metode pemetaan bersama (community
mapping) dilalui warga dengan menggambar sendiri kawasan kampung mereka,
jalan-jalan kampung, rumah-rumah tetangga, sarana yang ada, WC umum, warung,
pos kampling dan sebagainya dan satu kertas besar. Pemetaan itu sangat membantu
mereka untuk tahu apa saja permasalahan dan potensi kampungnya, yang setelah
itu secara bersama-sama pula mencari solusi dan perencanaannya. Setiap warga
pun harus mengukur dan menggambar denah rumahnya masing-masing secara skalatis
untuk menghasilkan masterplan kampung yang terukur. Semua warga akan menggambar
sendiri perencanaan kampungnya, dibantu oleh arsitek-arsitek di Arkom dan
mereka merencanakan sendiri bagaimana kampung mereka akan dibangun.
Perjalanan Lintang yang masih berlanjut hingga saat ini ada di Rumah Intaran, Desa Bengkala, Singaraja, Bali. Rumah Intaran adalah rumah di mana Lintang diajak memiliki sahabat yang lebih besar lagi, yaitu alam semesta. Membentuk pemahaman Lintang bahwa arsitek bukan hanya mendesain dalam batas-batas meter persegi, namun dedikasi untuk menciptakan ruang hidup yang berkualitas dan tidak meninggalkan alam sebagai pemilik terbesar sumber daya. Rumah Intaran membangun bersama-sama dengan alam lewat karya rumah-rumah dari kayu bekas beserta kesadaran penuh akan hutang oksigen yang harus dibayar dengan menanam kembali pohon.
Membicarakan perjuangan Rumah Intaran
justru bukan dari sisi arsitekturnya, namun semangat untuk hidup di desa, hidup
berkualitas dan dekat dengan alam. Hidup di desa adalah tentang hidup bersama,
sederhana dan bahagia. Keseharian orang desa yang hidup berdampingan dengan
sawah, petak kebun, sungai dan hutan, pemandangan keseharian dan terus menerus
inilah yang membawa pemahaman bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Rumah
Intaran sadar betul untuk tak hanya menikmati suasananya, namun juga
menghadirkannya dalam keseharian. Berusaha memiliki petak kebun pangan mandiri,
menjaga tanaman-tanaman yang tumbuh dan mengolahnya menjadi pemenuh kebutuhan
sehari-hari. Terus mencari kekayaan-kekayaan tersembunyi masyarakat desa dan
meyakinkan mereka bahwa semua itu harus dijaga kelestariannya.
Desa juga menghasilkan pemahaman
konsumsi yang berkualitas dan hemat energi. Rumah Intaran sungguh-sungguh dalam
menjaga makanan yang dikonsumsi bersama lewat memperbanyak makan sayuran dan
buah-buahan, mengurangi konsumsi daging dan ayam, berhenti mengkonsumsi makanan
berbahan pengawet dan pewarna, memperbanyak minum air kelapa muda, berhenti
minum soda, mengurangi minyak dan memperbanyak masakan segar atau rebus serta
tak lupa memakan sehelai daun intaran setiap pagi.
Pada akhirnya, arsitektur yang
dibangun Rumah Intaran berasal dari penglihatan dan pemahaman yang utuh, yang
berasal dari keseharian dan kesederhanaan. Bukan saja gelisah akan pembangunan
yang massif di luar sana, namun berkarya karena ingin menjaga sekaligus
mengembalikan keindahan-kekayaan yang membahagiakan tadi setiap waktu, untuk
orang lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Lintang
sangat tersinspirasi oleh Romo Mangun, setiap malam, Lintang selalu punya waktu
untuk menilik kembali apa saja yang telah Lintang lakukan, kebetulan apa saja
yang terjadi, semua itu seperti cerita panjang yang telah direncanakan oleh
semesta. Begitu juga dengan pelajaran dari Romo Mangun yang bagi Lintang
merupakan seperti kucuran air segar ditengah kekeringan makna arsitektur saat
ini. Karya dan pemikiran Romo Mangun yang merdeka ini adalah pembelajaran yang
abadi, tak lekang oleh waktu. Bagaimana karyanya mampu mengakar dari budaya
setempat, memanusiakan manusia, bekerja dengan material dan kekriyaan lokal. Lintang
pernah memiliki satu masa pencarian akan makna-makna karya Romo Mangunwijaya
yang semakin waktu semakin disempurnakan oleh pengalaman-pengalaman berkarya
bersama alam dan wong cilik. Beberapa poin yang diperoleh Lintang dari Romo
Mangun yakni;
Memperjuangkan kemanusiaan, adalah
misi utama Romo Mangun sehingga sangat kental dengan karya yang berpihak pada
kaum miskin,lemah dan tersingkir. Usaha membuka lapangan kerja dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat diwujudnyatakan Romo Mangun dengan bekerja langsung
bersama warga dan memasang upah tukang lebih tinggi dari harga bahan.
Indonesia
Baru, adalah misi juga diusung Romo Mangun dalam setiap karya arsitektural.
Cita-cita Romo agar Bangsa Indonesia terbebas dari belenggu globalisasi dan
industri muncul dalam pengolahan material-material tradisional dengan teknologi
baru, mengolah ulang barang-barang bekas juga material pabrik sehingga
seringkali terlihat Romo memecah atau menghancurkan keramik, mencetak dan
membuat sendiri tegel, pintu, jendela dan banyak material lain.
Dua
konsep karya Romo Mangun ini sungguh masih relevan untuk di lanjutkan sekarang.
Ruang-ruang hidup yang makin tak manusiawi, pembangunan yang massif, material
industri dan sahabat-sahabat yang masih hidup dalam kekurangan.
Membangun bersama-sama, antar manusia
juga manusia dengan alam adalah hal yang sewajarnya kita lakukan. Bangsa
Indonesia tumbuh dari kebersamaan dan gotong royong serta dengan pengertian
yang utuh bahwa manusia harus hidup berdampingan dengan alam. Kehidupan budaya
–termasuk arsitektur- tergusur kepentingan kapitalisme global. Sudah barang
tentu pihak yang terlemah –alam lingkungan- adalah yang paling menderita. Mari
mendengar sejernih-jernihnya panggilan karya kita, bagaimana menjadi arsitek
dengan huruf a-kecil dan menjadi pembangun yang bijak.
No comments:
Post a Comment