“Japan
Architecture in My Frame”
“Travelling in my
mind, DSLR in my arms, and architecture in my heart”
Bulan ini, di bawah naungan
langit, seorang pria yang berprofesi sebagai arsitek sekaligus juga
berkecimpung dalam dunia fotografi, Krishna Aditya Prajogo, membagikan kisah
perjalanannya ke Negeri Sakura kepada sekitar 90 orang audiens.
Krishna sudah memulai dunia
fotografinya semenjak kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanegara
Jakarta. Kemudian memfokuskan dirinya untuk Resort
& Architecture photographer. Selain menyukai arsitektur dan fotografi,
Krishna juga memiliki hobi travelling.
Ia berpendapat bahwa kunci sukses bagi seorang arsitek adalah sebanyak –
banyaknya melihat dunia. Dan fotografi baginya menjadi media kunci yang
menghubungkan dunia arsitektur dan dunia travelling.
Melalui lensa kameranya,
Krishna dapat mengambil sudut – sudut dengan komposisi yang menarik yang
terkadang terlewatkan oleh mata biasa. Dengan memahami filosofi ini, menurut
Krishna, seorang arsitek menjadi lebih peka terhadap skala ruang, serta terus
melatih rasa tentang keindahan.
Dedikasi tersebut yang
memotivasi Krishna pergi ke negeri Sakura untuk melihat dunia yang lain serta
mengunjungi karya maestro arsitek Tadao Ando, Kengo Kuma, Sou Fujimoto, Ryue
Nishinawa, dan lainnya. Ia mendapatkan kesempatan travelling bersama Andra Matin sebagai kepala regu perjalanan.
Ekskursi arsitektur Jepang ini telah membuat jiwa fotografinya berteriak untuk
mengabadikan setiap detail serta pengalaman ruang, mencari angle, dan ‘menelannya’ ke dalam kamera – nya.
Dengan kameranya Krishna juga
sudah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi antara lain juara 1 pada Lomba
Foto Arsitektur HUT Sketsa : Spirit of Architecture (2008), meraih juara 1 di
Rally Photo Kota Denpasar (2010), dan juga penghargaan kelas internasional
seperti PSS Merit Award dari Singapura (2009). Karya Krishna pun juga sudah
banyak dimuat di media publikasi dan buku antara lain 50 +MERGING Indonesian
Architects oleh Imelda Akmal, serta yang terbaru adalah majalah Elle Decoration
edisi September 2011. Hasil fotonya pun pernah masuk ke dalam official website St. Mary of The Angels Church, Singapore.
Bagi Krishna, pengalaman
adalah guru yang sangat berharga, tidak dapat dinilai dengan materi, namun akan
lebih berharga ketika kita juga membagikannya kepada orang lain. Krishna
berkata “Di hari esok ketika mungkin kita sudah lupa, semoga masih ada insan
yang mengenangnya”.
Selain menceritakan kisah
perjalanannya, Krishna juga memperlihatkan video dan foto – foto hasil
bidikannya pada para audien serta memajang beberapa hasil karya fotografinya.
Acara pun dilanjutkan dengan
sesi tanya jawab. Penanya pertama adalah Errik, presenter AUB3 #15, Errik
menanyakan, mengapa dari setiap bangunan yang diperlihatkan oleh Krishna
terlihat sepi, dan hening. Ia juga menanyakan apakah pada desa tradisional yang
disinggahi Krishna terdapat sistem bangunan komunal seperti yang ada di desa
tradisional Bali (Banjar / Bale). Krishna menjawab dengan jelas bahwa dari yang
ia lihat tidak ada bangunan komunal, yang ada hanyalah bangunan peribadatan
yang memiliki ciri khas yaitu memiliki massa bangunan yang lebih besar.
Krishna menjelaskan juga mengapa hampir
sebagian besar bangunan yang terdapat pada fotonya terlihat hening, menurutnya
lokasi bangunan tersebut memang tidak ramai, terpencil, dan tidak ada kendaraan
umum, akses hanya menggunakan sepeda. Selain itu, kondisi tersebut justru
membuat Krishna, yang juga seorang fotografer, lebih dapat mengeskplor bangunan
tersebut.
Penanya lainnya adalah Rizeki,
presenter AUB3 #14, ia bertanya apa kesan yang ingin disampaikan oleh Krishna
melalui foto – fotonya. Krisna pun menjawabnya dengan cepat dan tegas. Sebagai
seorang arsitek, kita dapat menjadikan fotografi sebagai sebuah media
pembelajaran. Kita dapat membagikan apa yang kita lihat terhadap orang lain
melalui foto – foto tersebut.
Space, Sequence, dan Surprise
adalah tiga hal yang paling dirasakan oleh Krishna dari perjalanan
arsitekturalnya ke negeri Sakura.
No comments:
Post a Comment