“Arsitektur, Reaksi, dan Kesadaran”
Oktober ini, Architects Under Big 3 (AUB3) memasuki tengah tahun ke-dua. Di edisi spesial ke-18 –AUB3 kelipatan 6- ini, Danny Wicaksono, seorang arsitek muda yang juga penggiat jongArsitek! hadir dari Jakarta. Presentasi pada edisi kali ini pun dilakukan dalam dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Beberapa audien non Indonesia pun tampak hadir mengikuti acara, salah satunya adalah Trevor Boddy, seorang jurnalis juga kritikus arsitektur asal Kanada.
Sepuluh tahun sudah semenjak kuliah, Danny Wicaksono mengenal dan bergelut dengan dunia arsitektur. Danny, begitu ia biasa dipanggil, telah mengamati banyak hal; bertemu orang-orang baru, pergi ke banyak tempat, menghadiri berbagai acara arsitektur, dan berbincang-bincang dalam banyak kesempatan. Tidak disadari secara langsung, kesempatan-kesempatan untuk menambah wawasan yang datang pada Danny telah membawa banyak hal baru di kehidupannya. Realita dan gagasan selalu datang silih berganti, menambah wawasan, dan juga turut merubah cara pandang, hingga akhirnya membentuk sikap dan pemikirannya sendiri tentang arsitektur dan hal yang terkait dengannya.
Hal pertama yang menginspirasinya adalah sebuah buku tentang arsitek-arsitek hebat dunia. Rem Koolhaas, favoritnya, memberi pemahaman yang lain tentang ruang dan arsitektur itu sendiri. Semasa kuliah di Universitas Trisakti, Jakarta, Danny adalah seorang mahasiswa yang sulit diatur. Menurutnya, kampus seharusnya menjadi sebuah laboratorium ide, bukan penuh kekangan.
Selepas kuliah, Danny bergabung dengan Arsitek Muda Indonesia (AMI), sebuah organisasi yang menurut Danny sangat menarik untuk diikuti karena ia dapat menyerap banyak ilmu. Bergabung dengan AMI membuatnya memiliki kesempatan berkolaborasi dengan arsitek-arsitek ternama antara lain Yori Antar dan Marcokusuma Wijaya. Beberapa proyek yang sempat dikerjakannya antara lain proyek observation deck di situs Trowulan, Jawa Timur, dan gelanggang pemuda di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Bagi Danny, “Being an architect in Indonesia is difficult, especially about the construction”.
Pemuda kelahiran Jakarta ini, sebelum membuka studio arsitektur sendiri, pernah bekerja dangan Adi Purnomo (Mamo) selama 3 tahun. Pelajaran berharga yang ia dapatkan dari Mamo adalah menjadi seorang arsitek tidak hanya melulu tentang arsitektur, namun juga tentang sikap. Jangan mudah percaya dan harus selalu mencari hal-hal baru dan melihat hal-hal kecil (detil). Mamo juga mengingatkannya bahwa arsitektur yang baik adalah yang memiliki pembanding (benchmark).
Cerita mengalir, pada tahun 2008, Danny bersama beberapa orang kawan mendirikan komunitas jongArsitek!, “an indonesian young emergent architect community”, begitu tagline-nya. Bersama jongArsitek!, Danny menginisiasi Pameran Nasional Arsitek Muda di Galeri Salihara yang merupakan pameran arsitek muda Indonesia terbuka dan terkurasi pertama kali di Indonesia. Dalam rangkaian acara tersebut, jongArsitek! pun sempat mengundang Rem Koolhaas sebagai dosen tamu pada sebuah kuliah umum yang dihadiri lebih dari 500 orang. Danny, bersama jongArsitek! pun pernah berkolaborasi dengan Keuken untuk menciptakan ruang publik dan mengisinya dengan kegiatan memasak di ruang terbuka.
Danny berpendapat, arsitektur Indonesia modern masa kini membosankan, seperti tidak berkembang, dan kurang inovasi. Yang ada hanya repetisi hal – hal masa lalu. Arsitek di Indonesia pun seperti terisolasi dari arsitek – arsitek dunia. Kurang begitu dikenal di dunia luar. Maka dari itu, Danny mencoba mengkurasi sebuah pameran arsitektur out of the box bertajuk “Rumah-rumah Tanpa Pintu”. Pameran ini menampilkan karya-karya dari 11 orang arsitek muda Indonesia mengenai rumah yang didesain tanpa pintu, tanpa menghilangkan esensinya pada rumah itu sendiri.
Acara pun kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Rezza, penanya pertama mengungkapkan bahwa ia sangat tertarik dengan presentasi Danny dan 90% setuju dengan Danny. Rezza bertanya apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang arsitek. Danny menjawab dengan tegas bahwa seorang arsitek harus menentukan pembanding dan patokan. Pembanding harus yang setinggi – setingginya. Bahwa arsitek muda seharusnya membuat desain yang setara bahkan lebih baik dari pembanding tersebut. Jangan pernah minder dengan apa yang kita miliki. Jangan hanya sebagai pengagum dan pengikut, karena kita tidak akan pernah berkembang.
Audien kedua yang bertanya adalah Boddy. Menurutnya apa yang dilakukan Danny sangat menarik dan sangat inspiratif. Ia bertanya apakah yang dilakukan Danny ketika menjadi kurator di sebuah pameran arsitektur. Danny menjawab bahwa perannya adalah menjadi seorang critical role, yang belum banyak dilakukan orang. Dari yang Danny tangkap, selama ini tujuan pameran adalah untuk ketenaran. Yang terjadi seharusnya, pameran adalah ruang untuk berdiskusi.
Penanya berikutnya adalah Wara Urwasi. Wara menanyakan tentang apa yang Danny maksud dengan arsitektur Indonesia pada pernyataannya sewaktu presentasi bahwa arsitektur Indonesia masa kini membosankan. Danny menjelaskan, arsitektur yang dimaksud adalah arsitek modern masa kini. Danny memberikan contoh, sebaiknya kita memiliki pembanding dalam berkarya. Pembanding yang dipilih Danny adalah Jepang. Karena baginya Jepang adalah standar tertinggi di Asia. Dia memiliki pemikiran bagaimana mereka bisa menghasilkan karya seperti itu tetapi kita tidak. Sebuah kata mutiara dari Mies Van Der Rohe pun dilontarkan oleh Danny, “Arsitektur adalah keinginan sebuah jaman yang diterjemahkan dalam bentuk ruang”.
No comments:
Post a Comment