Saturday, March 3, 2012

Post Event Release Architects Under Big 3 #23 Eka Swadiansa


Eka Swadiansa

Jumat di bulan Maret ini, Architects Under Big 3 (AUB3) menampilkan seorang arsitek alumni Universitas Brawijaya, Eka Swadiansa. Pria yang akrab disapa Eka ini mendirikan OSA sebagai studio inkubasi desain dengan fokus pekerjaan kompetisi. Ia membawakan presentasi dengan judul “Bukan Arsitektur Kosmetik”. Pada kesempatan kali ini AUB3 kedatangan seorang profesor dari Kyoto, Jepang, Gunter Nitschke

Eka membagi presentasinya menjadi 2 bagian, mengenai perjalanan berarsitekturnya bersama OSA, dan proyek –proyek desain yang pernah dilakukannya. Eka mengquote sedikit perkataan dari Popo Danes,
“Arsitek muda saat ini cenderung ingin menjadi Tadao Ando, Rem Koolhaas”. Kalimat tersebut memberi inspirasi bagi Eka  Oleh karena itu, Eka lebih memilih untuk mempelajari kehidupan para arsitek terkenal bukan arsitekturnya. Menurut Eka, arsitektur itu seharusnya adalah tentang kerja tim, bukan “one man show”.


Eka memaparkan, Posmodern – kontemporer – “green”. Merupakan 3 genre arsitektur yang paling popular saat ini. Namun, belum banyak orang yang benar – benar menggali dan memahaminya arti dari ketiga genre
tersebut. Posmodern seringkali diasosiasikan dengan “wajah carut-marut” yang didominasi oleh penggunaan elemen-elemen runcing bersudut sempit atau sebaliknya lengkungan-lengkungan masif yang tampil dinamis. Demikian halnya dengan penempelan ornamen tradisional pada kontemporer, dan “penghijauan” pada “green”. Apapun itu, arsitektur seringkali dipahami hanya sebagai bentuk kulit-luarnya saja, sebagai pencitraan, sebagai ikonisasi.


Audien AUB3 #23


Ikon – ikon yang dulu merupakan kontras dengan sekitarnya, kini sudah menjadi komoditas utama, menjadi tren yang sudah mulai basi. Yang ada hanyalah narsisme arsitektur. Kini para arsitek memperkenalkan produk lama berbungkus baru : “green”. Para arsitek berlomba – lomba untuk menjadi seperti para arsitek pencipta ikon – ikon terdahulu. Biar bagaimanapun manusia bukanlah pencipta. Menurut Eka, pria yang juga sering memberikan kuliah tamu di Universitas Brawijaya ini, Arsitektur bukan hanya bentuk bangunan, namun juga nuansa ruang, space, dan suasana.

Eka juga bercerita tentang jalan arsitektur yang dipilihnya. Semuanya melalui media kompetisi arsitektur baik dari dalam (nasional) maupun luar negeri (internasional); melalui metode reaktif (RE/ARCH/TION). Yang lebih esensial, Eka juga akan menjelaskan landasan-landasan Trialektika pemikiran ‘politik-ekonomi-budaya’ dibalik perancangan-perancangan tersebut. Mengajak siapapun yang hadir belajar posmodern tidak dari Gehry atau Libeskind tapi melalui Heidegger dan Derrida menuju Nietzsche; membongkar peta imperialisme Frampton dan Rudofsky, mendekonstruksi pola tata ruang Howard dan trio Wright-Corbusier-Mata, kemudian menggunduli semak-semak “green”.

Bersama studio OSAnya, Eka mengerjakan banyak proyek sayembara, antara lain Thailand Tower dan Museum di Taiwan. Dalam setiap proyek – proyeknya, eka selalu memegang teguh prinsip – prinsipnya. Bagi Eka, desain Gehry, Ando, Hadiid, dan lain sebagainya tidak bias begitu saja diaplikasikan ke dalam arsitektur di Indonesia karena Indonesia akan kehilangan kekhasannya. Sebelum presentasi berakhir, Eka juga sempat memperlihatkan video mengenai desainnya untuk Taiwan Tower.


Diskusi AUB3 #23


Acara pun berlanjut ke sesi diskusi. Penanya pertama adalah Made Resa Arimurti. Ia bertanya apa yang menjadi titik balik Eka hingga mendirikan OSA. Eka menjawabnya, semenjak awal kuliah Ia tidak puas
hanya dengan apa yang diajarkan di kampus. Sehingga ia mencari cara lain untuk belajar arsitektur. Penanya selanjutnya adalah Cok Gung, ia merasa bingung seusai tamat kuliah. Ia bingung untuk memilih jalan mana yang harus dipilih, ia bertanya bagaimana saran Eka bagi para fresh graduate. Eka menjawabnya dengan tegas, kita belum menjadi arsitek kalau kita belum pernah bekerja menjadi arsitek. Baginya, pengalaman orang yang pernah mendalami arsitektur tentunya berbeda dengan yang belum pernah.

Penanya lainnya adalah Sinta. Ia menanyakan apakah kacamata ekonomi sangat penting dalam sebuah arsitektur. Eka menjawabnya dengan jelas, menurutnya kacamata ekonomi adalah faktor yang sangat penting dalam arsitektur. Karena setiap pihak pastinya ingin bangunan yang dimilikinya mendapatkan keuntungan untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan.

Acara AUB3 kali ini pun ditutup dengan pemberian kejutan bagi Eka, karena tepat pada hari ini Eka berulang tahun yang ke-30.

No comments:

Post a Comment