Saturday, May 5, 2012

Post Event Release Architects Under Big 3 #25 Gilbert Y Voerman

Pada bulan Mei ini, Architects Under Big 3 memasuki edisi pertamanya di tahun ketiga. Di edisi #25 ini, seorang arsitek muda kelahiran Batam, Gilbert Yohannes Voerman membawakan tema “Mimpi Seorang Arsitek”. Mengambil lokasi di taman, Gilbert memulai diskusi dengan video seorang anak kecil yang menggambarkan rumah yang diinginkannya.

Gilbert Y Voerman

Hidup di lingkungan yang penuh keberagaman dalam lingkup pluralisme kehidupan menjadi sebuah tantangan bagi arsitek untuk terjun langsung ke dalam masyarakat. Permasalahan yang hadir selalu diwacanakan dengan kehidupan arsitek yang condong dalam industrialisasi. Sejauh apa kita menghargai dan mau berpikir lebih dalam dalam menghargai profesi kita agar berguna kepada masyarakat.



Ber”mimpi” adalah salah satu cara yang dilakukan Gilbert untuk menjawabnya. Mimpi adalah sebuah harapan untuk membuka proses dan menghadapi masa depan, sebuah proses pencarian yang harus dilakukan dengan sederhana namun konsisten.

Menurut Gilbert, arsitek membantu seseorang untuk menciptakan ruang hidup dan ruang aktivitas. Arsitek itu tidak bisa diam, selalu bergerak. Arsitek harus berpikir jujur. Oleh karena itu, mengapa arsitek tidak mengembangkan sayapnya untuk membantu masyarakat di sekitarnya. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana menikmati arsitektur? Arsitektur tidak hanya tentang bangunan, desainer yang berkutat dalam konstruksi tapi juga dapat terlibat dalam masyarakat dimana arsitek dapat merasa bebas berekspresi.

Audiens AUB #25

Gilbert lalu berbagi cerita tentang pengalamannya. Ketika Gilbert masih berada di Bandung, dia bergabung dengan WEG (2010). Bersama WEG ini Gilbert ingin mengenalkan kota Bandung melalui bangunan tua. Bangunan tua sebagai tempat yang bisa dikunjungi dan dijadikan tempat bermain. Gilbert melanjutkan ceritanya ketika dia berada di Solo (2010-2011). Bersama komunitas Wedangan, dia berusaha mengangkat kembali Kampung Gandhekan sebagai kampung pengrajin sandal kulit (Sandal Kulit Bu Yamto). Walaupun pada awalnya sangat susah karena pola pikir masyarakat yang susah diubah. Akhirnya dengan cara meningkatkan tingkat ekonomi kampung tersebut terlebih dahulu (dengan sandal kulit), kemudian baru berpikir secara arsitektural untuk membangun kampung tersebut.

Acara pun dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penanya pertama adalah Jon yang kebutulan dulu pernah tinggal di Batam. Jon bertanya bagaimana Gilbert sebagai orang Batam melihat Batam itu sendiri yang belakangan semakin berkembang menjadi “kota ruko”. Gilbert pun menjawab bahwa belum adanya arsitek yang dapat masuk dan mengubah pola pikir masyarakat serta pemerintah yang tidak bisa mengontrol. Hal ini diperkuat dengan budaya yang sudah sangat melekat sehingga mempengaruhi apa yang diinginkan oleh klien. Kita sebagai arsitek harusnya dapat mendesain yang sesuai fungsi dan dapat mengarahkan klien.

Penanya kedua adalah Alco. Alco kembali menanyakan tentang kota Batam sebagai kota ruko dan mengapa Gilbert tidak mengembangkan kampung – kampung di Batam. Gilbert pun semakin menegaskan bahwa Batam tidak memiliki keteraturan dalam pembangunan dan hal itulah yang harus diatasi. Gilbert merasa bahwa dia membutuhkan pembelajaran di kota lain sebelum akhirnya kembali ke Batam dan mengembangkannya.

Penanya selanjutnya adalah Reno, mahasiswa dari Padang. Reno berkata bahwa di Padang juga terdapat sandal “Datuk” walaupun belum terkenal hingga ke luar Padang. Reno menanyakan bagaimana cara dia sebagai mahasiswa arsitektur dapat membantu mengembangkan tanpa terkesan menggurui. Gilbert menjawab dengan ceritanya selama di Kampung Gandhekan. Untuk menghilangkan kesan menggurui, kita harus menghilangkan embel – embel sebagai arsitek dan berbaur dengan masyarakat dan mengikuti prosesnya dari awal.

Penanya terakhir adalah Evan yang menanyakan tentang kegiatan sukarela versus kehidupan nyata, walaupun sebagai voluntir tetap dapat hidup layak. Gilbert pun menjawab bahwa kita sebagai arsitek harus dapat mampu meletakkan mental arsitek sesuai pada tempatnya. Jangan pernah menganggap itu sama rata dan jangan kaku karena arsitek itu harus mempunyai karakter.

Para Penanya (ki-ka) Jon - Alco - Reno - Evan

Gilbert menutup ceritanya dengan menceritakan keinginannya. Selama Gilbert berada di Bali, dia melakukan pembelajaran terus - menerus dan ingin berbagi dengan apa yang dia miliki sebagai seorang arsitek di masyarakat Bali.

No comments:

Post a Comment