Presenter Architecture Under Big 3 #37 Gayuh Winisudaningtyas |
Di
edisi pertama tahun ke empat AUB3 ini kita kedatangan tamu dari Yogyakarta yang
membahas tentang pohon dan hubungannya dengan arsitektur, begitu banyak hal
mempengaruhi cara ber-asitektur begitu pula dengan kondisi site sekitar dan existing yang telah ada sebelumnya yakni
keberadaan sebuah pohon. Dalam diskusi kali ini, Gayuh Winisudaningtyas akan
berbagi pengalamannya dalam menyikapi pohon sebagai bagian dari ide
ber-arsitektur-nya.
Gayuh memulai diskusi dengan penjabaran
akan pohon yang ia bagi menjadi tiga, yang pertama adalah pohon sebagai
inspirasi. Keunikan sistem yang diciptakan pohon secara alamiah seperti daur
hidupnya dapat membawa memperkaya inspirasi metode desain dibanding hanya
melihat dari bentukan luarnya saja.
Selanjutnya, pohon sebagai objek.
Seringkali di masyarakat umum ditemukan beragam slogan akan green house, green residence, dan masih
banyak hal lainnya yang terkait akan isu penghijauan yang perlu untuk dikritisi.
Gayuh menekankan bahwa pohon bukan hanya sekedar objek penghias. Para
pengembang sebaiknya tidak hanya memunculkan vegetasi baru tetapi juga menaruh
perhatian pada vegetasi awal yang menjadi karakter dari lahan itu sendiri.
Audiens Architecture Under Big 3 #37 Gayuh Winisudaningtyas |
Kemudian, pohon sebagai sebuah
realita harus disadari keberadaannya dan juga dimengerti oleh para arsitek.
Bukan hanya melulu tentang menjaga pohon-pohon existing tetap ada dalam desain namun juga
bagaimana material lokal dalam proses pembangunan berasal dari lokasi terdekat.
Pohon sebagai realita kemudian menjadi konsep karya yang ia kerjakannya bersama
Ugahari Arsitek, salah satunya adalah Omah Asu.
Pada pembangunan rumah ini, terdapat satu
pohon kersen yang ingin dibiarkan tetap tumbuh di bagian depan rumah. Beberapa
tantangan dalam desain tentu muncul seperti pergeseran pondasi untuk dapat
menjaga akar-akar pohon, perawatan pohon selama konstruksi berlangsung, dan
lain halnya. Aksi melestarikan satu pohon ini ternyata dianggap cukup janggal
oleh para tukang dan juga tetangga sekitar. Namun, kejanggalan ini malah
membawa komunikasi yang berlanjut hingga pembangunan rumah selesai. Bagian
depan rumah beserta pohon kersen ternyata menjadi lokasi ‘tongkrongan’ baru
bagi pedagang sayur dan tetangga sekitar. Pohon yang tumbuh lebat ini ternyata
membawa suasana asri bagi lokasi sekitar.
Metode desain yang unik datang juga dari
projek kedua yakni Rumah Salim. Gayuh dan timnya terlebih dahulu memetakan
pohon-pohon mana saja yang kemudian menjadi bagian dari desainnya, selanjutnya
besaran ruang-ruang pun mengikuti batasan yang tercipta dari existing pohon yang ada.
Penamaan atas ruang kemudian menjadi sangat cair dan dikomunikasikan bersama
pemilik rumah. Kemudian, muncul besaran ruang yang jarang ditemukan dalam
dimensi standar yang seringkali dipakai, namun dengan begitu, terdapat signature dari konteks yang ditempati.
Dari
beberapa karya di atas terlihat bagaimana Gayuh dan Ungahari Arsitek begitu
peka melihat pohon yang bukan hanya sekedar objek semata. Struktur pohon
dengan cabang dan ranting yang saling menopang dahan-dahan turut menjadi bagian
dari metode desain yang digunakan dalam mengembangkan struktur atap.
Penghematan terhadap balok-balok pengikat dapat diminimalisasi dengan penerapan
struktur pohon miliknya.
Pertanyaan
kemudian muncul dari Permana yakni, tetap terkesan ada kontradiksi terhadap
keinginan arsitek untuk mempertahankan pohon di sekitaran site, namun tetap menggunakan
material kayu yang sebenarnya juga bagian dari penebangan pohon di site lain. Gayuh kemudian menekankan bahwa
penggunaan kayu pada projeknya merupakan bagian dari mengurangi carbon footprint itu sendiri. Sebab, material kayu
didatangkan dari para pemasok sekitar yang kemudian mendatangkan
penghasilan bagi tukang tebang, dan tukang angkutnya.
Pertanyaan
kedua datang dari Cok Gung yakni mengkritisi akan dua perlakuan yang sempat
diutarakan Gayuh yakni sikap terhadap pohon; ditebang atau dipertahankan. Bagi
Cok Gung, seharusnya pilihan ditebang haruslah dibuang jauh-jauh dari pemikiran
seorang arsitek dalam menyikapi konteksnya. Gayuh kembali menekankan bahwa
penebangan pohon pada site tentunya diikuti aksi mempergunakan
pohon itu semaksimal mungkin hingga ke bagian terkecilnya seperti menjadi
bagian dari konstruksi hingga bagian dari interiornya.
Pandangan
lain kemudian disampaikan oleh Rizeki yakni konsep green architecture yang kemudian diistilahkannya sebagai
arsitektur penuh pertimbangan. Sebab, bukan hanya persoalan mempertahankan
namun juga mengurangi carbon
footprint menjadi suatu hal
yang lebih masuk akal. Hal lain kemudian disinggungnya terkait akan cara
memaknai ruang dari metode desain ini. Gayuh kemudian menjelaskan bahwa ruang
yang tercipta dibiarkan kosong tanpa ada fungsi yang spesifik, kemudian
penghunilah yang berperan mengisi ruangnya sendiri dengan ide dan kebutuhannya.
Para Penanya (ki-ka): Permana, Cok Gung, Rizeki |
Diskusi
kali ini kemudian ditutup dengan pandangan green
architecture dari Gayuh
sendiri yang diistilahkannya dengan arsitektur kontekstual dimana pohon
diperlakukan dengan suatu alasan yang kuat. Seperti sebuah sikap saat menanam
pohon, berarsitektur pun harus mengupayakan dirinya untuk dapat hidup dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan yang terus tumbuh seiring berjalannya waktu.
No comments:
Post a Comment