Saturday, May 4, 2013

Post Event Release: Architects Under Big 3 #37 Gayuh Winisudaningtyas


Presenter Architecture Under Big 3 #37 Gayuh Winisudaningtyas

Di edisi pertama tahun ke empat AUB3 ini kita kedatangan tamu dari Yogyakarta yang membahas tentang pohon dan hubungannya dengan arsitektur, begitu banyak hal mempengaruhi cara ber-asitektur begitu pula dengan kondisi site sekitar dan existing  yang telah ada sebelumnya yakni keberadaan sebuah pohon. Dalam diskusi kali ini, Gayuh Winisudaningtyas akan berbagi pengalamannya dalam menyikapi pohon sebagai bagian dari ide ber-arsitektur-nya.

Gayuh memulai diskusi dengan penjabaran akan pohon yang ia bagi menjadi tiga, yang pertama adalah pohon sebagai inspirasi. Keunikan sistem yang diciptakan pohon secara alamiah seperti daur hidupnya dapat membawa  memperkaya inspirasi metode desain dibanding hanya melihat dari bentukan luarnya saja.


Selanjutnya, pohon sebagai objek. Seringkali di masyarakat umum ditemukan beragam slogan akan green house, green residence, dan masih banyak hal lainnya yang terkait akan isu penghijauan yang perlu untuk dikritisi. Gayuh menekankan bahwa pohon bukan hanya sekedar objek penghias. Para pengembang sebaiknya tidak hanya memunculkan vegetasi baru tetapi juga menaruh perhatian pada vegetasi awal yang menjadi karakter dari lahan itu sendiri.

Audiens Architecture Under Big 3 #37 Gayuh Winisudaningtyas
Kemudian,  pohon sebagai sebuah realita harus disadari keberadaannya dan juga dimengerti oleh para arsitek. Bukan hanya melulu tentang menjaga pohon-pohon existing tetap ada dalam desain namun juga bagaimana material lokal dalam proses pembangunan berasal dari lokasi terdekat. Pohon sebagai realita kemudian menjadi konsep karya yang ia kerjakannya bersama Ugahari Arsitek, salah satunya adalah Omah Asu.

Pada pembangunan rumah ini, terdapat satu pohon kersen yang ingin dibiarkan tetap tumbuh di bagian depan rumah. Beberapa tantangan dalam desain tentu muncul seperti pergeseran pondasi untuk dapat menjaga akar-akar pohon, perawatan pohon selama konstruksi berlangsung, dan lain halnya. Aksi melestarikan satu pohon ini ternyata dianggap cukup janggal oleh para tukang dan juga tetangga sekitar. Namun, kejanggalan ini malah membawa komunikasi yang berlanjut hingga pembangunan rumah selesai. Bagian depan rumah beserta pohon kersen ternyata menjadi lokasi ‘tongkrongan’ baru bagi pedagang sayur dan tetangga sekitar. Pohon yang tumbuh lebat ini ternyata membawa suasana asri bagi lokasi sekitar.

Metode desain yang unik datang juga dari projek kedua yakni Rumah Salim. Gayuh dan timnya terlebih dahulu memetakan pohon-pohon mana saja yang kemudian menjadi bagian dari desainnya, selanjutnya besaran ruang-ruang pun mengikuti batasan yang tercipta dari existing pohon yang ada. Penamaan atas ruang kemudian menjadi sangat cair dan dikomunikasikan bersama pemilik rumah. Kemudian, muncul besaran ruang yang jarang ditemukan dalam dimensi standar yang seringkali dipakai, namun dengan begitu, terdapat signature dari konteks yang ditempati.

Dari beberapa karya di atas terlihat bagaimana Gayuh dan Ungahari Arsitek begitu peka melihat pohon yang bukan hanya sekedar objek semata.  Struktur pohon dengan cabang dan ranting yang saling menopang dahan-dahan turut menjadi bagian dari metode desain yang digunakan dalam mengembangkan struktur atap. Penghematan terhadap balok-balok pengikat dapat diminimalisasi dengan penerapan struktur pohon miliknya.

Pertanyaan kemudian muncul dari Permana yakni, tetap terkesan ada kontradiksi terhadap keinginan arsitek untuk mempertahankan pohon di sekitaran site, namun tetap menggunakan material kayu yang sebenarnya juga bagian dari penebangan pohon di site lain. Gayuh kemudian menekankan bahwa penggunaan kayu pada projeknya merupakan bagian dari mengurangi carbon footprint  itu sendiri. Sebab, material kayu didatangkan dari para pemasok sekitar  yang kemudian mendatangkan penghasilan bagi tukang tebang, dan tukang angkutnya.

Pertanyaan kedua datang dari Cok Gung yakni mengkritisi akan dua perlakuan yang sempat diutarakan Gayuh yakni sikap terhadap pohon; ditebang atau dipertahankan. Bagi Cok Gung, seharusnya pilihan ditebang haruslah dibuang jauh-jauh dari pemikiran seorang arsitek dalam menyikapi konteksnya. Gayuh kembali menekankan bahwa penebangan pohon pada site tentunya diikuti aksi mempergunakan pohon itu semaksimal mungkin hingga ke bagian terkecilnya seperti menjadi bagian dari konstruksi hingga bagian dari interiornya.

Pandangan lain kemudian disampaikan oleh Rizeki yakni konsep green architecture yang kemudian diistilahkannya sebagai arsitektur penuh pertimbangan. Sebab, bukan hanya persoalan mempertahankan namun juga mengurangi carbon footprint menjadi suatu hal yang lebih masuk akal. Hal lain kemudian disinggungnya terkait akan cara memaknai ruang dari metode desain ini. Gayuh kemudian menjelaskan bahwa ruang yang tercipta dibiarkan kosong tanpa ada fungsi yang spesifik, kemudian penghunilah yang berperan mengisi ruangnya sendiri dengan ide dan kebutuhannya.


Para Penanya (ki-ka): Permana, Cok Gung, Rizeki
Diskusi kali ini kemudian ditutup dengan pandangan green architecture  dari Gayuh sendiri yang diistilahkannya dengan arsitektur kontekstual dimana pohon diperlakukan dengan suatu alasan yang kuat. Seperti sebuah sikap saat menanam pohon, berarsitektur pun harus mengupayakan dirinya untuk dapat hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan yang terus tumbuh seiring berjalannya waktu.

No comments:

Post a Comment