Architecture Field Trip
Architecture
Field Trip untuk penutup AUB tahun ke empat di laksanakan dengan menjelajahi
Bali Utara, mengapa bali utara?, menurut Popo Danes selama ini kebanyakan orang
berorientasi ke arah Bali Selatan daripada ke arah Bali Utara, sedangkan banyak
potensi di Bali Utara yang bisa di gali dari segi budayanya, dan untuk lebih
mendalami Bali Utara dari segi budaya, Field
trip kali ini mengunjungi beberapa obyek yakni : Rumah Intaran, Pura Maduwe
Karang, Pura Beji, Pura segara dan Pelabuhan Buleleng serta menjelajahi kota
tua di Singaraja (Masjid Kuna (merupakan masjid pertama di Singaraja),
pertokoan lama di singaraja, dan klenteng.
konstruksi rumah kayu dan workshop di Rumah Intaran
Objek pertama adalah Rumah Intaran yang didirikan oleh Gede Kresna, begitu sampai di rumah intaran, peserta langsung menuju ke bagian tengah pekarangan rumah intaran, disana terdapat rumah berbahan kayu bekas yang sedang di bangun oleh tim Rumah Intaran, rumah tersebut berupa rumah panggung dan semua material nya menggunakan kayu bekas, menurut Gede Kresna kayu bekas yang sudah tua merupakan kayu yang kuat dan tidak membutuhkan banyak maintenance. Eksplorasi rumah Intaran berlanjut ke bagian depan dimana terdapat workshop tempat para tukang kayu (artisan) bekerja, disini banyak terdapat berbagai macam maket konstruksi kayu proyek yang pernah di kerjakan oleh Gede Kresna bersama tim Rumah Intaran.
Peserta field trip berdiskusi bersama Gede Kresna di area workshop kayu
Peserta
lalu masuk ke dalam galeri terbuka dengan ventilasi bambu yang memiliki pintu
tua, di dalam galeri ini terdapat benda benda seni dan juga maket proyek yang
dimiliki Gede Kresna, maket yang terbuat kebanyakan memiliki skala 1:200, hal
ini memudahkan bagi Gede Krisna untuk menjelaskan kepada klien serta memudahkan
untuk bagi para tukang kayu untuk mempelajari dan melihat struktur kayu
sehingga bila dapat dirakit ulang dengan mudah. Setelah selesai dari melihat
karya yang ada di galeri, peserta field
trip di suguhkan cofee break dari Rumah Intaran dan kegiatan dilanjutkan
dengan diskusi bersama Gede Kresna dan Popo Danes.
Gede
Kresna mengawali diskusi dengan menjelaskan makna Rumah Intaran, menurut Gede
Kresna Rumah Intaran bila dijelaskan dengan 2 kata adalah Rumah Perlawanan,
yakni perlawanan akan nilai nilai kesementaraan, selain itu mengapa dinamakan
Rumah Intaran, karena di pekarangannya banyak di tumbuhi oleh Pohon Intaran,
pohon Intaran yang juga disebut sebagai Pohon Soekarno ini merupakan pohon yang
penting, baik sebagai obat obatan, sebagai penahan tanah maupun pemecah angin. Namun
menurut Gede Kresna banyak masyarakat yang tidak mengetahui fungsi pohon ini
sehingga banyak yang menebang dan menjualnya dengan murah, maka dari itu tim
Rumah Intaran bersama masyarakat yang sadar akan kegunaan daun intaran,
melakukan penanaman sebanyak banyak nya pohon ini sebagai simbol “perlawanan”
karena tidak mempunyai kekuatan untuk melarang penebangan yang terjadi.
Peserta field trip berdiskusi bersama Gede Kresna di area galeri Rumah Intaran
Diskusi
dilanjutkan dengan pertanyaan yang datang dari peserta field trip, pertanyaan pertama datang dari Liliyas (Arsitek Gfab),
Liliyas bertanya perihal bagaimana idealisme Gede Kresna dalam menyeleksi
klien. Gede Kresna menjawab dengan penjelasan bahwa, sebelum memuali suatu proyek, Gede Kresna selalu menjelaskan
ada beberapa hal yang harus diketahui oleh Klien sebelum bekerja sama lebih jauh
bersama Rumah Intaran, yakni Hal terbaik yang bisa dilakukan di atas site
adalah: tidak melakukan apa apa, dan Arsitektur adalah awal dari sejumlah
proses pengrusakan terhadap tatanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga klien
harus mengganti oksigen yang hilang dari terbangun nya proyek dengan membayar
untuk penanaman sejumlah pohon kembali. Dari hal yang di jelaskan oleh Gede Kresna
di awal sebelum bekerja sama tersebut, maka dengan sendirinya klien akan
terseleksi, yang ingin bekerja sama lebih jauh akan kembali lagi ke Rumah
Intaran.
Pertanyaan
kedua datang dari Charles (RMIT), charles bertanya perihal bagaimana mengajari
tukang untuk membuat detail dan struktur kayu yang di desain oleh Gede Kresna, Gede
Kresna menjelaskan bahwa Gede Kresna memiliki instruktur tukang yang sudah
terlatih dan terampil dalam pengerjaan kayu, sehingga instruktur inilah yang
membantu untuk membimbing tukan kayu yang lain dalam pengerjaan struktur kayu
dan finishing kayu di setiap proyek.
Pertanyaan
ketiga datang dari Lisana (Arsitek Archimetriz Architect), Lisana bertanya
perihal bagaimana Gede Kresna melakukan eksplorasi bentuk perpaduan budaya ke
dalam sebuah bangunan tradisional karya nya. Gede Kresna menjelaskan dengan
meberi contoh sebuah bangunan Yunani dimana, bangunan tersebut dapat
mengintimidasi orang begitu masuk ke dalam bangunannya dengan ukuran kolom yang
besar dan tinggi. Gede Kresna menunjukan sebuah maket dimana Gede Kresna
mencoba untuk menjadikan bangunan tradisional menjadi sesuatu yang
mengintimidasi, dengan struktur atap joglo dan memiliki kolom berukuran 40 X 40
dengan tinggi 8 M.
Diskusi
pun di tutup dengan ajakan Gede Kresna untuk makan siang bersama di pekarangan
Rumah Intaran, setelah itu kunjungan berlanjut ke Pura Maduwe Karang, begitu
masuk ke area Pura Maduwe Karang, Popo Danes menunjukan kepada peserta sebuah
pahatan di area utara dinding Pura, yakni pahatan seorang lelaki mengendarai
sepeda dengan roda belakang dari daun tunjung. Popo Danes menjelaskan bahwa
ukiran Bali Utara lebih feminim dari pada ukiran Bali Selatan, Popo Danes
menganalogikan dengan kodok, bahwa kodok jantan lebih kecil daripada kodok
betina, maka dari itu tampilan fisik menipu namun spirit tidak menipu, sama halnya
dengan ukiran Bali Utara lebih kasar dan asimetris bila dibandingkan dengan
Bali Selatan. Setelah peserta selesai mengeksplorasi Pura Maduwe Karang, perjalanan
berlanjut ke Pura Beji.
Pura Maduwe Karang
Di
Pura Beji, Popo Danes memperkenalkan Gede Yasa, seorang pemahat yang mengukir
di Pura Beji, diskusi pun terjadi antara Popo Danes, Gede Yasa, Gede Kresna dan
peserta Field Trip, peserta bertanya perihal makna ukiran yang ada di Pura
Beji, Gede Yasa menjelaskan bahwa ukiran di Pura Beji ada artinya, yakni
mengisahkan sesuatu kejadian yang terjadi di sekitar Pura dan di curahkan ke
dalam ukiran Pura Beji, Gede Kresna menambahkan dengan penjelasan bahwa pura di
Buleleng sudah mengenal Pop Art Cuma tidak didefinisikan, Gede Kresna
menjelaskan bahwa Pop Art adalah segala hal yang tidak ada di sastra, dan
sastra membuat Pura di Bali adalah Mahabarata dan Ramayana, sehingga unsur
unsur kolonial yang ada di dalam pura merupakan pengaruh pengaruh arsitektur
dari luar. Sebuah Pura yang menampung banyak orang, sebenarnya tidak pernah
lepas dari siapa yang menghegemoni kekuasaan pada saat itu, sehingga gaya Eropa
hadir pada saat Eropa berkuasa di Bali, Popo Danes menambahkan dengan
memberikan penjelasan bahwa Pura Beji adalah Pura Subak, merupakan lambang rasa
syukur petani untuk pertiwi, dan dikarenakan status Pura yang tidak tinggi,
sehingga mereka bisa lebih bebas untuk berkreasi di dalam Pura.
Peserta field trip berdiskusi di Pura Beji bersama Popo Danes dan Gede Kresna
Setelah diskusi dan foto bersama di Pura Beji selesai, Field Trip berlanjut ke Pura Segara Sangsit, Pura ini menggunakan material batu Singaraja yang penuh dengan ukiran, tidak banyak terjadi diskusi di dalam Pura Segara di karenakan waktu yang sudah sore dan field trip pun berlanjut ke Pelabuhan Buleleng, setibanya di Pelabuhan, Popo Danes menjelaskan bahwa dulu banyak terdapat bangunan tua kolonial di area sekitar Pelabuhan, namun bangunan tersebut sudah dihancurkan oleh pemerintah setempat dan diganti dengan bangunan baru dengan style Bali.
Peserta field trip berdiskusi di area pelabuhan bersama Popo Danes dan Gede Kresna
Field
trip berlanjut ke area pertokoan tua dengan berjalan kaki, Popo Danes memasuki
salah satu toko yang di belakang toko tersebut merupakan bangunan tua bergaya
Chinese yang di miliki oleh pemilik toko tersebut, bangunan tua tersebut berupa
rumah dengan struktur kayu yang sudah tua namun kekokohan nya masih sangat
bagus terlihat, balok kayu yang memiliki dimensi besar dan menopang plat lantai
kayu yang sudah berusia ± 50 tahun masih
sangat awet menjadi struktur rumah tersebut. Perjalanan berlanjut ke masjid
Kuna, merupakan masjid pertama di Singaraja, setelah selesai mengunjungi Masjid
Kuna, peserta kembali ke area Pelabuhan dan acara field trip closing AUB 3 4th year di tutup dengan berfoto bersama di
dalam Klenteng di dekat Pelabuhan.
Rumah tua bergaya Cina
Peserta Field trip bersama Popo Danes dan Gede Kresna
No comments:
Post a Comment