“Journey to the
North”
Pura Meduwe Karang - Desa Kubu Tambahan
Pura Beji - Sansit
Kota Tua - Singaraja
Saturday, April 26, 2014
Start from 06.00 am
Meet at Danes Art Veranda
Jl. Hayam Wuruk 159 Denpasar
Limited places
for serious participant only
For young architects student / professional under 35yo
For young architects student / professional under 35yo
Join us at ArchitectsUnderBig3@popodanes.com
send your
biodata before Tuesday, April 22, 2014
No admission
fee
Lunch and snack
provided
The selected
participant will announced at Thursday, April 23, 2014
Keagungan karya seni dan budaya yang lahir dari kreativitas tanpa batas
banyak kita temukan dalam keunikan budaya dan agama di Bali, keagungan karya
seni ini banyak tercermin pada bangunan suci (Pura) di bali, dimana pada setiap
Pura pasti kita temukan lekuk detail simbol simbol yang memiliki makna
spiritual tertentu, di bali, terutama daerah Bali Utara setiap daerah memiliki
gaya ukiran tersendiri yang kental dengan Siwa Budha dengan aksen Cina.
Daerah Bali Utara memiliki potensi wisata yang melimpah, tidak hanya
destinasi wisata, Bali Utara juga memiliki beragam keunikan budaya yang patut
di ketahui keberadaannya. Dalam field trip kali ini, kita akan menjelajahi
keunikan budaya Bali Utara melalui pura dan kota tua di Singaraja, seperti Pura
Meduwe Karang dan Pura Beji.
Berikut penjelasan mengenai destinasi kita pada field trip kali ini,
untuk memberikan gambaran akan keindahan dan keunikan tempat yang akan kita
tuju.
Pura Meduwe Karang
Meduwe Karang secara harfiah bisa
diterjemahkan sebagai pemilik tanah. Sesuai namanya Pura Meduwe Karang memiliki
ikatan spritual yang kuat dengan warga
Desa Kubutambahan baik secara umum
Kabupaten Buleleng dan Bali yang bemata pencaharian mengolah tanah. Di Pura ini
warga memohon kesuburan tanah untuk hasil panen yang melimpah. Terlihat saat
beberapa upacara seperti upacara nunas prani sebagai upacara persembahan yang
tulus kepada leluhur para warga
mempersembahkan bibit palawija, bibit tersebut dijadikan semacam spirit
untuk ditanam di wilayah perkebunan mereka.
Secara fisik, Pura
Meduwe Karang juga menunjukkan ciri khas sebagai pura yang bukan sekadar
sebagai pemilik tanah, namun juga sebagai pura yang memberi penghargaan dan
pengertian tentang betapa pentingnya membela atau memelihara tanah. Di area
pura itu terdapat Patung Kumbakarna yang direbut pasukan kera. Sesuai cerita
dalam kitab Ramayana, Kumbakarna rela berperang melawan pasukan kera bukan
untuk membela kakaknya, Rahwana. Namun, ia berperang untuk membela tanah
airnya, Alengka. Selain itu, di sekeliling pura itu juga berjejer patung dengan
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita Ramayana. Selain
memiliki makna perjuangan terhadap tanah,patung yang berjejer itu memiliki cita rasa seni tinggi dan
unik. Keunikan lain di pura itu juga tampak dari ukiran-ukirannya
Hasil studi dan penelitian sejarah
Pura-Pura di Bali tahun 1981/1982 yang dilakukan Pemda Bali dan Institut Hindhu
Dharma (IHD) Denpasar, Pura Maduwe Karang dibangun pada abad ke-19 Masehi,
tepatnya pada tahun 1890. Pura itu dibangun oleh warga yang berasal dari Desa
Bulian, sebuah Desa Bali Kuno, yang memutuskan untuk menetap dan mengolah tanah
perkebunan di Desa Kubutambahan.
Pura Beji - Sangsit
Pura Beji yang terletak di desa Sangsit,
Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng ini punya keunikan tersendiri. Pura ini
memiliki gugus-gugus masa bangunan suci yang sangat masif dan syarat dengan
ukiran khas gaya Buleleng. Hampir semua bagian pura dipenuhi ukiran.
Keharmonisan,keindahan dan kesakralan Pura Beji tidak terlepas dari Trimandala
Bangunan Fisik, ornament yang ditampilakn yang merupakan karya para Undagi
Maranggi dan Sangging Maranggi Bali bagian utara, yang tidak ditemukan di Bali
bagian selatan. Dikisahkan
pada zaman Waturenggong, wilayah Buleleng timur dianggap daerah yang tidak
patut dihuni. Bahkan ketika itu menjadi tempat pembuangan, termasuk tempat
pengasingan Ki Anglurah Panji Sakti. Namun belum ada data pasti, kapan tepatnya
peristiwa itu terjadi. Terlepas dari itu lingkungan Pura Beji yang dikenal
sebagai pura subak untuk desa pakraman Sangsit ini dikatakan sebagai lingkungan
pura untuk memuja Dewi Sri – dewi yang diyakini berhubungan dengan bidang
pertanian, menciptakan padi sebagai bahan makanan pokok, dan pemberi
kemakmuran.
Ihwal itu rupanya berhubungan dengan bentuk ragam hias yang dimunculkan pada segenap bagian bangunan suci Pura Beji. Motif bunga atau tetumbuhan rambat membungkus gugus-gugus bangunan atau palinggih yang ada di situ. Di awal dari candi bentar, kori agung, hingga seluruh bangunan pemujaan, sarat ukuran motif bunga berciri khas style Buleleng: cukilan lebar, dangkal tapi runcing.
Ihwal itu rupanya berhubungan dengan bentuk ragam hias yang dimunculkan pada segenap bagian bangunan suci Pura Beji. Motif bunga atau tetumbuhan rambat membungkus gugus-gugus bangunan atau palinggih yang ada di situ. Di awal dari candi bentar, kori agung, hingga seluruh bangunan pemujaan, sarat ukuran motif bunga berciri khas style Buleleng: cukilan lebar, dangkal tapi runcing.
Kota Tua - Singaraja
Pada abad ke-17 dan abad ke-18 Singaraja merupakan pusat
kerajaan Buleleng, dulu ibukota kerajaan berada di Sukasada. Pada saat itu I
Gusti Anglurah Panji Sakti berpikir agar istana berkedudukan di tempat yang
strategis, akhirnya dipilihlah kota Singaraja. Nama kota ini diambil dari
kewibawaan sang raja I Gusti Anglurah Panji Sakti yang sangat berwibawa dan sakti
layaknya seekor singa. Pada tahun 1846 bangsa Belanda menjajah bagian Bali
utara, Kemudian Singaraja sempat menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil dan ibu
kota Bali sampai tahun 1958.
Beberapa objek kota tua tersebut ini antara lain seperti, Pelabuhan
Buleleng, Gedong Kertya, dan Museum Daerah Singaraja. Kita akan berziarah
singkat di Singaraja mengetahui perjalanan terbentuknya kota ini dari waktu ke
waktu.
No comments:
Post a Comment