(scroll down for english version)
"Perjalanan Sebagai Ruang Pembelajaran"
Perjalanan sebagai Ruang Pembelajaran merupakan cara untuk menerangkan bahwa dalam sebuah pergerakan manusia (dalam hal ini sebuah perjalanan) dapat menjadi ruang-ruang belajar temporer. Dimana ruang tersebut dapat dimaknai dan diambil sebagai sebuah pembelajaran yang sebenarnya sangat utuh serta begitu terkait. Narasi-narasi yang terdapat dalam pembelajaran tersebut terkadang merupakan saripati pengalaman dari tiap individu yang kita temui. Bahwa dalam perjalanan bagi pekerja arsitektur selalu menemukan fenomena-fenomena arsitektur dan juga pemikiran yang penting di sekitarnya.
Tujuan
utama dari perjalanan tersebut adalah menyelenggarakan sebuah workshop bagi
mahasiswa arsitektur Universitas Mercu Buana, sebuah universitas swasta di
daerah Bekasi, Jawa Barat. Pihak universitas bekerja sama dengan Rumah
Intaran-Bali dan LabTanya-Jakarta sebagai pemateri dalam workshop selama tiga hari
tersebut, yaitu dari 20-22Mei 2015. Tema
acaranya adalah “Menemukan Kualitas-Kualitas yang Tidak Terlihat”,
dimana tujuan dari penyelenggaraannya adalah memberikan sebuah sudut pandang
baru untuk melihat berbagai kualitas yang terdapat di sekitar kita.
Perjalanan
juga memberikan begitu banyak pengetahuan dari berbagai orang, bertemu dengan
berbagai profesi, terutama dengan arsitek, penyelenggara negara, penggiat
wisata desa, dosen, hingga pada pedagang dan penjaja jasa di bidang informal
adalah memberikan pengalaman yang menarik. Ada relasi dalam wacana pengembangan
desa dan Undang-Undang Desa, seperti yang dapat ditemukan dari Yori Antar,
Maximus Tipagau, dan Budiman Sudjatmiko. Arsitek memiliki peranan yang vital,
guna memberikan masukan yang penting terhadap berbagai kebijakan di pemerintah
dan juga sebagai penghubung bagi orang Desa.
Tentu
saja relasi-relasi ini, akan menceritakan lebih jauh mengenai ideologi dan
keberpihakan arsitektur pada masyarakat dan menerangkan pengaruh arsitek
terhadap pembuat kebijakan. Sisi yang juga menarik adalah peranan arsitek dalam
penyelesaian permasalahan perkotaan. Permasalahan sampah, ekologi, dan sosial
budaya berkaitan dengan perencanaan ruang dalam arsitektur. Maka diperlukan
sebuah pendekatan yang lebih menyeluruh mengenai sebuah proses kebudayaan yang
tidak pernah selesai. Serta yang penting adalah penekanan “relevansi” pada
setiap proses pembangunan solusi terhadap permasalahan perkotaan, dimana
arsitektur harus lebih lentur, luas, dan jauh dari kata selesai.
Salam,
Eka
Mulyawan
Tentang
Eka Mulyawan :
I
Putu Eka Mulyawan biasa dipanggil Ekamul, kelahiran Munggu, 23 Oktober 1990. Ia
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Lulusan arsitektur Universitas
Udayana, Bali yang telah menyelesaikan kuliahnya selama 6 tahun. Di masa-masa
perkuliahan tersebut, banyak bergelut dalam isu-isu kampus, Bali dan nasional.
Pernah menjadi anggota Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana 2008-2013,
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana 2011-2013, dan juga pernah
aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Denpasar 2009-2012.
Sejak
SMA menyukai jurnalistik, fotografi, organisasi dan bergabung dengan
ekstrakurikuler jurnalistik, Madyapadma SMA Negeri 3 Denpasar. Saat ini lebih
tertarik pada sejarah, budaya, arsitektur dan gerakan pemuda. Kesibukannya kini
menjalani Program 300 hari di Rumah Intaran "Bekerja, Belajar lagi dan
Menulis Buku" di Desa Bengkala, Buleleng, Bali.
[English Version]
Architects Under Big
3 #62 I Putu Eka Mulyawan
" Journey
as a Learning Space"
Journey
as a Learning Space is a way to explain that travel movement of humankind can
be a temporary learning space. This can be interpreted
and taken as an intact learning that also relating with essential experiences
of every individual we meet.
The interpretation became
one of the main reason for a 3 days workshop (may 20th - 22nd)
held in Mercu Buana University
cooperated with Rumah Intaran - Bali and Lab Tanya - Jakarta. In this workshop all participants discussed
all about the ''Unseen Qualities" ,how to see them exactly with all brand
new perspectives.
Journey
also gave much knowledge from various people with their own different
professions. Especially
in case of an Architect meets Public Servant , Traders, and Countrymen would be
a pleasant experience which also provide inputs into some government policies
and become a hub for many villages. several architects already done this, some of them are Yori Antar,
Maximus Tipagau and Budiman Sudjatmiko.
Another
interesting sides from becoming an architect are solving urban, sewages ,
ecological, and social problems in way
of architectural planning. a wide open
planning that sustainable and relevant. a planning that far from 'done' word.
Regards,
Eka Mulyawan
About
Eka Mulyawan:
I
Putu Eka Mulyawan (Ekamul) was born in Munggu, October 23rd, 1990 and became
the first child from two. Graduated from Udayana University after finishing his
study on Architecture major for 6 years. He gains his interest of Journalistic, Photography and Organization
from his former highschool SMA Negeri 3 Denpasar. Those interests made him
actively participating in several student body organizations during his study
in Udayana University ,such as Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana
period 2008 - 2013 , Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana period
2011 - 2013 , and also Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Denpasar
period 2009 - 2012. Currently,
Ekamul is busy taking part in Rumah Intaran's 300days program of working,
restudying and book writing in Desa Bengkala , Buleleng, Bali.
No comments:
Post a Comment