[scroll down for English version]
Architect Under Big 3 : #85 Daniel Tria Pramono, Muhammad Arief Muttaqin, & Raja Gama Era
Hari ini, pembelajaran maupun penelusuran tema-tema arsitektur lokal berwawasan Nusantara, muncul banyak sekali kabar burung, cerita, ide, konsep, idealisme, maupun pernyataan-pernyataan doktrinal. Semuanyamemperkaya pikiran, namun tak semua sumber objektif dan layak diterima, jika penyampaian yang turun-temurun diramu dengan seadanya dan kurang informatif. Pengamatan kualitatif di lapangan saat ini atau istilah “learning by doing” merupakan kegiatan yang paling menarik dan paling efektif untuk mendapatkan sumber-sumber dengan bermacam tematik. Melalui kegiatan inilah sebuah tahap dokumentasi menjadi sangat penting dan yang nantinya akan menghidupkan sebuah cerita tidak hanya hidup dalam otak saja, tetapi hidup dalam perbuatan hingga menghasilkan suatu artefak-artefak karya baru. Setelah melalui proses dan pengamatan terhadap serangkaian tahap dokumentasi itu sendiri, kita bertiga mengklasifikasikan bahwa terdapat tiga cara dokumentasi yang efektif untuk menyerap sebuah ide, tema, maupun idealisme dan pengetahuan tertentu.
Dokumentasi fisik1 yang merupakan tahap awal, tidak hanya berupa studi tentang preseden bangunan, namun lebih luas lagi yaitu mengenai penjelajahan area makro beserta dinamika kehidupan di dalamnya. Dokumentasi literasi2 selanjutnya merupakan sebuah tangan dan kaki untuk menaburkan ide, cerita, menjadi lebih informatif dan menjadi lebih “lunak” untuk ditelan di dalam pikir kita. Keduanya ditempa melalui dokumentasi psikis3, dimana memori-memori tentang kegiatan yang sudah belangsung akan memiliki sebuah dampak untuk mengubah gaya hidup kita, tidak sekedar mengubah ide dan perbuatan dalam sepekan ataupun dalam setahun.
Berusaha terjun dan mencicipi berbagai kesulitan dan ketidaknyaman dalam berproses adalah hal yang mutlak untuk mengawali sebuah panggilan. Hal itu akan memicu sebuah titik balik dan breaktrough terhadap kesadaran kita, dimana saat kita berkata “Cukup” terlalu cukup bahkan, sehingga perkataan itu yang membuat kita tidak mencoba merusak ataupun menghilangkan suatu bagian dari semesta.
Sebuah terobosan diperlukan agar tiap pemerhati semesta berkata “Cukup”, termasuk para arsitek. Arsitektur merupakan salah satu halaman luas lintas budaya yang turut andil dalam perkembangan budaya. Dokumentasi budaya yang kami lakukan ‘hanya’ sekitar daerah atau rumah kita, Rumah Intaran. Sebuah ruang kecil di desa Bengkala Buleleng yang juga merupakan studio arsitektur. Jika kita saja tak mengenal jati diri kita sebagai arsitek, mau kemana arah budaya kita nanti?
Salam dari Rumah Intaran,
Desa Bengkala – Buleleng, Bali
Tentang Pemateri :
Daniel lahir di Batu, 29 Juni 1992, Arief lahir di Tangerang, 28 September 1993, dan Gama lahir di Malang, 20 Februari 1993. Ketiganya berarsitektur dengan bekal pendidikan dari Universitas Brawijaya Kota Malang. Studio Arsitektur Rumah Intaran menjadi tempat awal mereka bertiga untuk belajar dan berpraktek arsitektur. Daniel sudah berada di studio tersebut selama satu tahun, sedangkan Arief dan Gama bergabung kemudian sejak tiga bulan ini.
Bagi Daniel pengetahuan tentang arsitek tidaklah lengkap tanpa belajar material serta cara menggunakannya, lebih utama dia tertarik dengan material alami dan rahasia kemahiran pertukangan waktu dulu. Sebelumnya beberapa pekerjaan kreatif pernah di tangani seperti mapping dan berkutat dengan fotografi desain. Harapannya semoga apa yang dia bisa berguna untuk mempertahankan keindahan semesta yang sudah “cukup” ini.
Arief semenjak masa kuliahnya dalam arsitektur ia menyadari bahwa arsitektur sangat sulit dijadikan pegangan hidup. Ia menyadari untuk tetap berkarya dalam arsitektur diperlukan penghasilan yang tetap. Hal itu juga yang menyadarkannya bahwa untuk menemukan jati dirinya dalam berarsitektur ataupun untuk menjadi arsitek yang idealis, ia harus memiliki materi yang cukup sehingga tidak menggantungkan hidupnya pada proyek arsitektur. Hal ini yang menjadikannya mulai mencari dan mencoba peluang – peluang bisnis semenjak menjadi mahasiswa di malang. Dari mulai berjualan sampai bekerja di kedai kopi. Dari sinilah akhirnya dia menemukan ketertarikannya terhadap kopi dan mulai mendalaminya sedikit demi sedikit. Melalui warung kopi pula ia mendapat tawaran dari Daniel untuk ikut bergabung di Rumah Intaran, untuk sekaligus mempelajari perkebunan dan pertanian Edible Landscape. Pendokumentasian bersama di Rumah Intaran pada akhirnya membuka berbagai peluang bisnis dan cakrawala tentang idealis berarsitektur.
Gama bergelut dengan eksposisinya tentang media yang menyampaikan arsitektur dalam kata-kata yang ringan. Mengusung semangat self-publish ia mengonsep, mencatat, mempackaging, dan mendistribusikan sendiri beberapa wacana ke publik. Ia merintis dengan salah satu alumni Rumah Intaran sebuah kumpulan wacana, prosa dan rasa arsitektur yang berjudul Damar. Saat ini sudah mulai menginjak edisi keempat. Dalam memperkaya wacana ia juga terjun ke dalam dunia seni dan menggelar beberapa kali pameran seni kontemporer di kotanya, Malang. Salah satu alasan ia menginjakkan kaki di Rumah Intaran, karena disini banyak sekali proses memproduksi wacana perlawanan terhadap budaya asing dengan menyelami lebih dalam budaya lokal melalui proses pendokumentasian. Selebihnya melalui proses itu pula ia belajar banyak hal baik untuk bekal menjadi arsitek yang memanusiakan manusia dan alam.
[English Version]
Architect Under Big 3 : #85 Daniel Tria Pramono, Muhammad Arief Muttaqin, & Raja Gama Era
Nowadays, learning local architectures are triggering issues, ideas, concepts, idealism and creating new doctrinal statements. Every of them enrich our mind, but not all of them are worth to accept if the sources are uninformative. The current qualitative observation in the field or the "learning by doing" idiom is the most interesting and effective ways to obtain thematic sources. By doing this activities, Documentation becomes important since it turns a story into a new living artefacts. After going through a series of documentation process, three of us classify three ways of documenting ideas, themes, idealism, or a certain knowledge.
Physical documentation1 which is the first stage is not only precedent studies, but we are also do exploration through a wider range area and observing the dynamics life inside it. The Literation Documentation2 as the second stage can be depicted as hands and foot that can be used to spread ideas, and stories becoming more informative, and soft to be swallowed in our mind. Both of them are forged by using Psycological documentation3, where all the memories of the activities will have an impact on changing our whole lifestyle, and not just changing ideas and deeds in a week or a year.
Trying to get involve and taste the difficulties and inconveniences is an absolute necessity in the beginning of a process. It will trigger the emersion of a turning point and 'breakthrough' of our consciousness when we are enough of doing something, then we are not going to destroy or eliminate part of the universe.
A breakthrough is needed so that every observer of the universe says "Stop", including the architects, Architecture is one of the cross-cultural pages that contribute in cultural development. The area of cultural documentation which we always do is 'only' around our area or home, Rumah Intaran, An architecture studio in Desa Bengkala, Buleleng. If we do not know our identity as an architect, where will our culture evolve?
Desa Bengkala – Buleleng, Bali
About Speakers :
Daniel borns in Batu, June 29th 1992. Arief borns in Tangerang, September 28th 1993, and Gama borns in Malang, February 23rd 1993. Three of them were majoring architecture in Brawijaya University, Malang. Rumah Intaran become their first place to learn and practicing architecture. Daniel has been in the studio for a year, while Arief and Gama has been in the studio for three months.
For Daniel, Architecture is incomplete without learning materials and how to use them. He is interested in natural materials and conventional carpentry skills. Daniel ever did alot of creative jobs, such as mapping and design photography. He believes that he can be useful in maintaining the beauty of the universe.
Since his college life, Arief realized that architecture is very risky to be used as the main income source. Arief believes that to find an identity and idealism, he must have enough material so he will not rely himself in architecture projects. He started to look and try a new business opportunity since he was in Brawijaya University. He finally found his interest in coffee and began to learn about it. Through coffee, he also received an offer from Daniel to join an architecture Studio, Rumah Intaran.
Gama struggles with his exposition of media that brings architecture in a simple words. Carrying the spirit of self-publish, he conceptualize, record, packaging, and distributing his own several publications to the public. He pioneered with one of Rumah Intaran alumni a collection of discourse, prose, and sense of architecture entitled Damar. It is now start the beginning on the fourth edition. In enriching the discourse, he also get into the world of art and held several times a contemporary art exhibition in his city, Malang. One of the reason he is now in Rumah Intaran, was because Rumah Intaran has a lot of discourse producing in resistance to foreign culture by deeply explore the local culture through the process of documentation. The rest through that process also he learned a lot of good things for the provision of an architect who humanize humans and nature.
No comments:
Post a Comment