Angga, presenter AUB3 #40 |
“is a free space that
is generally open and accessible to people”
Begitulah
definisi public space yang Angga
utarakan sebagai pembukaannya
untuk AUB3 edisi ke 40. Pengalamannya tinggal di beberapa tempat, membuat Angga
tertarik akan pembahasan ruang publik di
beberapa tempat yang pernah dia tempati. Semasa kecilnya, Angga tumbuh besar di daerah
Tohpati, Bali,
daerah dimana terdapat pabrik industri pemintalan benang dan pusat industri sandang. Daerah
pabrik yang cukup luas sebagian dimanfaatkan sebagai ruang publik oleh masyarakat
sekitar, seperti Angga, untuk
bisa bermain bola dan berkegiatan lain semasa kanak-kanaknya.
Memasuki
dunia perkuliahan Angga tinggal di Surabaya.
Sebagaimana kita ketahui, semenjak Ibu Risma
mengepalai ketua pertamanan hingga sekarang menjadi walikota Surabaya, ruang terbuka hijau
dan ruang-ruang komunal di Surabaya cukup tertata baik. Hingga akhirnya Angga berkesempatan
melanjutkan studi
di Deventer, Belanda.
Deventer adalah kota yang berada di
dekat perbatasan antara Jerman dan Belanda. Heritage
city ini memiliki tradisi yang kuat sehingga banyak
ruang publik
yang terbentuk disana. Letak geografis
Belanda yang sebagian besar memiliki permukaan tanah yang rata juga yang
mendukung banyak terbentuknya ruang publik dan para pengguna sepeda disana.
Audiens AUB3 #40 |
Dari pengalamannya tinggal
di Indonesia dan beberapa kota di Eropa, Angga mencoba menganalisis bagaimana
terbentuknya setiap ruang publik
ini. Menurut Angga,
ruang publik itu dapat terbentuk dari
beberapa keadaan lingkungan, kebiasaan setiap penduduknya, dan keadaan cuaca. Contohnya, seperti di kota Copenhagen yang masyarakatnya sangat senang berkegiatan
di luar ruangan atau La Rambla,
yaitu jalan di pusat kota Barcelona
yang terdapat jalur pedestrian sepanjang 1,2 km dan dikelilingi pohon yang
menjadi kawasan sebuah mall. Contoh
lainnya adalah Venice yang wilayahnya sebagain besar adalah sungai sehingga
di waktu tertentu setiap tahunnya
permukaan airnya akan naik. Hal ini
menyebabkan pola pergerakan masyarakat pun berubah sehingga ruang publik yang
ada pun juga ikut berubah.
Selama
kuliahnya di Belanda,
Angga juga berkesempatan bergabung dengan sebuah konsultan arsitek. Angga mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam tim desain ruang publik di
Mariahove - Den Haag. Mariahove dikenal sebagai kota yang diisi oleh
para orang tua sehingga projek ini bertujuan
untuk mengembalikan para kaum muda agar mau tinggal lagi di Mariahove. Dar pengalamannya di Eropa,
Angga memiliki harapan yang besar untuk negaranya sendiri, terutama Bali yang
menjadi tanah kelahirannya.
Bali memiliki pantai-pantai indah yang menjadi potensi ruang publik. Semakin terkenalnya
Bali, semakin banyak juga kaum
investor ingin berinvestasi
di Bali. Angga juga mengkhawatirkan banyak area publik yang seharusnya
dimiliki masyarakat dan wisatawan, akan
diklaim oleh para pemilik tanah sebagai area
kawasannya. Masyarakat dan wisawatan
tidak dapat menikmatinya secara gratis.
Angga juga mengutarakan kekhawatirannya untuk Lapangan Renon dan Lapangan Puputan yang
fungsinya akan berubah apabila pemerintah dan masyarakat Bali tidak menjaganya
secara baik. Maka dari pengalamannya Angga merasa Denpasar ini rindu akan
keadaan lamanya dimana banyak masyarakat Bali untuk bisa berkegiatan di
ruang-ruang publik.
Sekarang ia rasakan
dimana kaum muda melupakan ruang publik dan berpindah ke kafe-kafe yang
semakin marak di Bali.
Acarapun berlanjut ke sesi diskusi.
Pertanyaan pertama datang dari George yang
bertanya tentang jenis ruang terbuka apakah yang dibutuhkan Bali. Angga menjawab ruang
terbuka seperti lapangan renon yang dimana masyarakat dapat berkegiatan bebagai
jenis seperti olah raga contohnya. Lalu, ada penanya kedua,
Eka, bagaimana harus menyikapi ruang
terbuka yang sangat sedikit (± 20%) dan
bagaimana tanggapannya tentang warung waralaba yang sekarang menjadi ruang publik baru. Angga pun menjawab bahwa Bali memiliki banyak
pantai dan lahan pemerintah yang bisa
digunakan sebagai ruang terbuka baru. Angga berpikir bahwa konsep seperti di
La Rambla, Barcelona dapat diterapkan di Jalan Legian sehingga wisatawan dapat menikmati
kegiatan berjalan dan berbelanja dengan nyaman. Angga menyadari bahwa terdapat kebiasaan
baru untuk bercengkerama di warung waralaba, tetapi bagi Angga kegiatan ini
masih membutuhkan biaya sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai ruang publik.
Penanya ketiga,
Andes, bertanya ruang publik di Eropa
dapat dinikmati semua kalangan akan tetapi
mengapa di Indonesia ruang publik ini kurang diminati terutama untuk
kalangan atas. Angga menyatakan perbedaan kebiasaan
dan pola pikir kebanyakan masyarakat yang sulit diubah dan mungkin juga
ruang publik
yang terbentuk dari awal kurang membuat nyaman.
Para penanya (ki-ka): Eka, Andes, Kalvar |
Kalvar memberikan pernyataan tambahan bahwa
kerinduan kita kepada Bali yang memiliki ruang publik yang baik dan nyaman, terutama, perlu didukung
dari pemerintah. Kedua, kita sebagai desainer dan arsitek memiliki andil besar bagi
ide-ide hebat untuk Bali yang lebih baik. Menanggapi
Kalvar sekaligus menutup diskusi ini, Angga berkesimpulan bahwa ruang publik
yang baik dapat meningkatkan kebahagiaan masyarakat. Ketika semua bahagia, akan
tercipta hubungan timbal balik antara masyarakat dan pemerintah yang saling
menguntungkan.
"Urban public space is of vital importance because of the way it shapes people's experience and understanding of the city and of the culture" - Elizabeth Mossop
ReplyDelete