Sunday, August 4, 2013

Post Event Release: Architects Under Big 3 #40 ING Angga Sumantri


Angga, presenter AUB3 #40
“is a free space that is generally open and accessible to people”

Begitulah definisi public space yang Angga utarakan sebagai pembukaannya untuk AUB3 edisi ke 40. Pengalamannya tinggal di beberapa tempat, membuat Angga tertarik akan pembahasan ruang publik  di beberapa tempat yang pernah dia tempati. Semasa kecilnya, Angga tumbuh besar di daerah Tohpati, Bali, daerah dimana terdapat pabrik industri pemintalan benang dan pusat industri sandang. Daerah pabrik yang cukup luas sebagian dimanfaatkan sebagai ruang publik oleh masyarakat sekitar, seperti Angga, untuk bisa bermain bola dan berkegiatan lain semasa kanak-kanaknya.


Memasuki dunia perkuliahan Angga tinggal di Surabaya. Sebagaimana kita ketahui, semenjak Ibu Risma mengepalai ketua pertamanan hingga sekarang menjadi walikota Surabaya, ruang terbuka hijau dan ruang-ruang komunal di Surabaya cukup tertata baik. Hingga akhirnya Angga berkesempatan melanjutkan studi di Deventer, Belanda. Deventer adalah kota yang berada di dekat perbatasan antara Jerman dan Belanda. Heritage city ini memiliki tradisi yang kuat sehingga banyak ruang publik yang terbentuk disana. Letak geografis Belanda yang sebagian besar memiliki permukaan tanah yang rata juga yang mendukung banyak terbentuknya ruang publik dan para pengguna sepeda disana.

Audiens AUB3 #40
Dari pengalamannya tinggal di Indonesia dan beberapa kota di Eropa, Angga mencoba menganalisis bagaimana terbentuknya setiap ruang publik ini. Menurut Angga, ruang publik itu dapat terbentuk dari beberapa keadaan lingkungan, kebiasaan setiap penduduknya, dan keadaan cuaca. Contohnya,  seperti di kota Copenhagen yang masyarakatnya sangat senang berkegiatan di luar ruangan atau La Rambla, yaitu jalan di pusat kota Barcelona yang terdapat jalur pedestrian sepanjang 1,2 km dan dikelilingi pohon yang menjadi kawasan sebuah mall. Contoh lainnya adalah Venice yang wilayahnya sebagain besar adalah sungai sehingga di waktu tertentu setiap tahunnya permukaan airnya akan naik. Hal ini menyebabkan pola pergerakan masyarakat pun berubah sehingga ruang publik yang ada pun juga ikut berubah.

Selama kuliahnya di Belanda, Angga juga berkesempatan bergabung dengan sebuah konsultan arsitek. Angga mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam tim desain ruang publik di Mariahove - Den Haag. Mariahove dikenal sebagai kota yang diisi oleh para orang tua sehingga projek ini bertujuan untuk mengembalikan para kaum muda agar mau tinggal lagi di Mariahove. Dar pengalamannya di Eropa, Angga memiliki harapan yang besar untuk negaranya sendiri, terutama Bali yang menjadi tanah kelahirannya. Bali memiliki pantai-pantai indah yang menjadi potensi ruang publik. Semakin terkenalnya Bali, semakin banyak juga kaum investor ingin berinvestasi di Bali. Angga juga mengkhawatirkan banyak area publik yang seharusnya dimiliki masyarakat dan wisatawan, akan diklaim oleh para pemilik tanah sebagai area kawasannya. Masyarakat dan wisawatan tidak dapat menikmatinya secara gratis. Angga juga mengutarakan kekhawatirannya untuk Lapangan Renon dan Lapangan Puputan yang fungsinya akan berubah apabila pemerintah dan masyarakat Bali tidak menjaganya secara baik. Maka dari pengalamannya Angga merasa Denpasar ini rindu akan keadaan lamanya dimana banyak masyarakat Bali untuk bisa berkegiatan di ruang-ruang publik. Sekarang ia rasakan dimana kaum muda melupakan ruang publik dan berpindah ke kafe-kafe yang semakin marak di Bali.

Acarapun berlanjut ke sesi diskusi. Pertanyaan pertama datang dari George yang bertanya tentang jenis ruang terbuka apakah yang dibutuhkan Bali. Angga menjawab ruang terbuka seperti lapangan renon yang dimana masyarakat dapat berkegiatan bebagai jenis seperti olah raga contohnya. Lalu, ada penanya kedua, Eka, bagaimana harus menyikapi ruang terbuka yang sangat sedikit (± 20%) dan bagaimana tanggapannya tentang warung waralaba yang sekarang menjadi ruang publik baru. Angga pun menjawab bahwa Bali memiliki banyak pantai dan lahan pemerintah yang bisa digunakan sebagai ruang terbuka baru. Angga berpikir bahwa konsep seperti di La Rambla,  Barcelona dapat diterapkan di Jalan Legian sehingga wisatawan dapat menikmati kegiatan berjalan dan berbelanja dengan nyaman. Angga menyadari bahwa terdapat kebiasaan baru untuk bercengkerama di warung waralaba, tetapi bagi Angga kegiatan ini masih membutuhkan biaya sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai ruang publik.  Penanya ketiga, Andes, bertanya ruang publik di Eropa dapat dinikmati semua kalangan akan tetapi mengapa di Indonesia ruang publik ini kurang diminati terutama untuk kalangan atas. Angga menyatakan perbedaan kebiasaan  dan pola pikir kebanyakan masyarakat yang sulit diubah dan mungkin juga ruang publik yang terbentuk dari awal kurang membuat nyaman.

Para penanya (ki-ka): Eka, Andes, Kalvar
Kalvar memberikan pernyataan tambahan bahwa kerinduan kita kepada Bali yang memiliki ruang publik yang baik dan nyaman, terutama, perlu didukung dari pemerintah. Kedua,  kita sebagai desainer dan arsitek memiliki andil besar bagi ide-ide hebat untuk Bali yang lebih baik. Menanggapi Kalvar sekaligus menutup diskusi ini, Angga berkesimpulan bahwa ruang publik yang baik dapat meningkatkan kebahagiaan masyarakat. Ketika semua bahagia, akan tercipta hubungan timbal balik antara masyarakat dan pemerintah yang saling menguntungkan.

1 comment:

  1. "Urban public space is of vital importance because of the way it shapes people's experience and understanding of the city and of the culture" - Elizabeth Mossop

    ReplyDelete