Thursday, July 3, 2014

Post Event Release: Architects Under Big 3 #50 Lintang Rembulan




Diskusi bersama Lintang Rembulan di dining room Popo Danes Architect kali ini dimulai dengan penjelasan Lintang mengenai perjalanan Lintang selama 1,5 tahun berada di desa dan kampung pinggir sungai, pengalaman Lintang sebagai pesanggrah dalam program residensi yang diadakan Rujak Center for Urban Studies di Bumi Pemuda Rahayu membuka diskusi kali ini, Lintang menjelaskan bahwa pesanggrah adalah kegiatan mengabdikan diri kepada desa untuk mengangkat lokalitas warga untuk berkarya, Lintang mengikuti kegiatan ini selama 2 bulan dan waktunya banyak dihabiskan untuk berkumpul dan berdiskusi dengan warga mengenai perancangan dan pembangunan gardu bambu, untuk perancangan gardu, Lintang menyerahkan seluruhnya kepada warga dalam hal perancangan serta penggambaran desain, yang Lintang lakukan hanya mentransformasikan gambar sketsa warga menjadi gambar yang terukur agar lebih mudah dibangun serta membuat maket untuk mempermudah menjelaskan saat dirapatkan dengan RT. Menurut Lintang akan sangat lain bagi warga bila warga yang menggambar dan merancang sendiri gardunya, mereka akan merasakan bahwa bangunan tersebut adalah milik mereka. Dari pengalaman Lintang yang pertama ini, Lintang memperoleh kesimpulan bahwa semua orang adalah arsitek bagi dirinya sendiri.

 
Pengalaman kedua Lintang bersama Arkom bekerja sama dengan masyarakat marjinal yang hidup di pinggir sungai, di tanah-tanah illegal, di ruang-ruang yang tak layak. Disini Lintang menjelaskan pada awal bahwa Lintang memperoleh kesimpulan Memasyarakatkan arsitektur berarti siap bekerja dengan 80% masyarakat tanpa kehidupan layak di Indonesia, sedangkan pada saat ini arsitek hanya bekerja untuk 20% masyarakat yang mampu, sedangkan lebih banyak yang membutuhkan arsitek pada tingkatan masyarakat tanpa kehidupan layak, Lintang menjelaskan bahwa dengan ini arsitek bukanlah profesi mahal bahkan profesi yang murah berdasarkan prosentase di atas.
Bersama Arkom, Lintang berkesempatan mendampingi warga Dusun Papringan untuk merencanakan balai bambu di kawasan permukiman mereka pinggir Sungai Gajah Wong Yogyakarta. Balai bamboo yang diinginkan warga agar memiliki atap seperti museum Affandi dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan museum tersebut, namun dikarenakan lahan yang terbatas pada akhirnya warga sendiri yang memutuskan untuk menggunakan atap miring berbentuk kotak sederhana karena lebih efisien di lahan yang terbatas dengan ukuran 2,5 M X 6M.  Lintang kembali tergerak, apa yang kali ini bisa arsitek lakukan? Ya, ‘sekedar’ mendampingi warga, tidak melakukan banyak intervensi atau bahkan datang sebagai pembawa solusi atau kebenaran. Percaya bahwa warga mempunyai daya dan kekuatan untuk memperbaiki lingkungan hidup mereka sendiri.
Bersama Arkom, Lintang juga memperoleh kesempatan untuk mengerjakan proyek perbaikan kampung, Lintang belajar bagaimana mendampingi masyarakat untuk bisa melihat serta mengkritisi kelebihan dan kekurangan kampungnya, kemudian membuat perencanaan bersama lalu membangunnya bersama pula dengan menabung Rp 2.000 per hari. Komunikasi yang dekat dan erat, mengharuskan Lintang untuk melebur bersama warga, menghabiskan hampir tiap sore hingga malam mengunjungi angkringan kampung tersebut juga menghadiri pertemuan-pertemuan kampung. Metode pemetaan bersama (community mapping) dilalui warga dengan menggambar sendiri kawasan kampung mereka, jalan-jalan kampung, rumah-rumah tetangga, sarana yang ada, WC umum, warung, pos kampling dan sebagainya dan satu kertas besar. Pemetaan itu sangat membantu mereka untuk tahu apa saja permasalahan dan potensi kampungnya, yang setelah itu secara bersama-sama pula mencari solusi dan perencanaannya. Setiap warga pun harus mengukur dan menggambar denah rumahnya masing-masing secara skalatis untuk menghasilkan masterplan kampung yang terukur. Semua warga akan menggambar sendiri perencanaan kampungnya, dibantu oleh arsitek-arsitek di Arkom dan mereka merencanakan sendiri bagaimana kampung mereka akan dibangun.





Perjalanan Lintang yang masih berlanjut hingga saat ini ada di Rumah Intaran, Desa Bengkala, Singaraja, Bali. Rumah Intaran adalah rumah di mana Lintang diajak memiliki sahabat yang lebih besar lagi, yaitu alam semesta. Membentuk pemahaman Lintang bahwa arsitek bukan hanya mendesain dalam batas-batas meter persegi, namun dedikasi untuk menciptakan ruang hidup yang berkualitas dan tidak meninggalkan alam sebagai pemilik terbesar sumber daya. Rumah Intaran membangun bersama-sama dengan alam lewat karya rumah-rumah dari kayu bekas beserta kesadaran penuh akan hutang oksigen yang harus dibayar dengan menanam kembali pohon.
Membicarakan perjuangan Rumah Intaran justru bukan dari sisi arsitekturnya, namun semangat untuk hidup di desa, hidup berkualitas dan dekat dengan alam. Hidup di desa adalah tentang hidup bersama, sederhana dan bahagia. Keseharian orang desa yang hidup berdampingan dengan sawah, petak kebun, sungai dan hutan, pemandangan keseharian dan terus menerus inilah yang membawa pemahaman bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Rumah Intaran sadar betul untuk tak hanya menikmati suasananya, namun juga menghadirkannya dalam keseharian. Berusaha memiliki petak kebun pangan mandiri, menjaga tanaman-tanaman yang tumbuh dan mengolahnya menjadi pemenuh kebutuhan sehari-hari. Terus mencari kekayaan-kekayaan tersembunyi masyarakat desa dan meyakinkan mereka bahwa semua itu harus dijaga kelestariannya.
Desa juga menghasilkan pemahaman konsumsi yang berkualitas dan hemat energi. Rumah Intaran sungguh-sungguh dalam menjaga makanan yang dikonsumsi bersama lewat memperbanyak makan sayuran dan buah-buahan, mengurangi konsumsi daging dan ayam, berhenti mengkonsumsi makanan berbahan pengawet dan pewarna, memperbanyak minum air kelapa muda, berhenti minum soda, mengurangi minyak dan memperbanyak masakan segar atau rebus serta tak lupa memakan sehelai daun intaran setiap pagi.
Pada akhirnya, arsitektur yang dibangun Rumah Intaran berasal dari penglihatan dan pemahaman yang utuh, yang berasal dari keseharian dan kesederhanaan. Bukan saja gelisah akan pembangunan yang massif di luar sana, namun berkarya karena ingin menjaga sekaligus mengembalikan keindahan-kekayaan yang membahagiakan tadi setiap waktu, untuk orang lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Lintang sangat tersinspirasi oleh Romo Mangun, setiap malam, Lintang selalu punya waktu untuk menilik kembali apa saja yang telah Lintang lakukan, kebetulan apa saja yang terjadi, semua itu seperti cerita panjang yang telah direncanakan oleh semesta. Begitu juga dengan pelajaran dari Romo Mangun yang bagi Lintang merupakan seperti kucuran air segar ditengah kekeringan makna arsitektur saat ini. Karya dan pemikiran Romo Mangun yang merdeka ini adalah pembelajaran yang abadi, tak lekang oleh waktu. Bagaimana karyanya mampu mengakar dari budaya setempat, memanusiakan manusia, bekerja dengan material dan kekriyaan lokal. Lintang pernah memiliki satu masa pencarian akan makna-makna karya Romo Mangunwijaya yang semakin waktu semakin disempurnakan oleh pengalaman-pengalaman berkarya bersama alam dan wong cilik. Beberapa poin yang diperoleh Lintang dari Romo Mangun yakni;

Memperjuangkan kemanusiaan, adalah misi utama Romo Mangun sehingga sangat kental dengan karya yang berpihak pada kaum miskin,lemah dan tersingkir. Usaha membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat diwujudnyatakan Romo Mangun dengan bekerja langsung bersama warga dan memasang upah tukang lebih tinggi dari harga bahan.
Indonesia Baru, adalah misi juga diusung Romo Mangun dalam setiap karya arsitektural. Cita-cita Romo agar Bangsa Indonesia terbebas dari belenggu globalisasi dan industri muncul dalam pengolahan material-material tradisional dengan teknologi baru, mengolah ulang barang-barang bekas juga material pabrik sehingga seringkali terlihat Romo memecah atau menghancurkan keramik, mencetak dan membuat sendiri tegel, pintu, jendela dan banyak material lain.
Dua konsep karya Romo Mangun ini sungguh masih relevan untuk di lanjutkan sekarang. Ruang-ruang hidup yang makin tak manusiawi, pembangunan yang massif, material industri dan sahabat-sahabat yang masih hidup dalam kekurangan.

Membangun bersama-sama, antar manusia juga manusia dengan alam adalah hal yang sewajarnya kita lakukan. Bangsa Indonesia tumbuh dari kebersamaan dan gotong royong serta dengan pengertian yang utuh bahwa manusia harus hidup berdampingan dengan alam. Kehidupan budaya –termasuk arsitektur- tergusur kepentingan kapitalisme global. Sudah barang tentu pihak yang terlemah –alam lingkungan- adalah yang paling menderita. Mari mendengar sejernih-jernihnya panggilan karya kita, bagaimana menjadi arsitek dengan huruf a-kecil dan menjadi pembangun yang bijak.



No comments:

Post a Comment